BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah
Cedera
kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara langsung yang
kemudian dapat berakibat kepada gangguan fungsi neurologis, fungsi fisik,
kognitif, psikososial, bersifat temporer atau permanen
(www.yayanakhyar.com.nr/200905).
Setiap
tahun di Amerika Serikat, mencatat 1,7 juta kasus trauma kepala 52.000 pasien
meninggal dan selebihnya dirawat inap. Trauma kepala juga merupakan penyebab
kematian ketiga dari semua jenis trauma dikaitkan dengan kematin. Menurut
Penelitian yang dilakukan olehNatroma Trauma Project di Islamic Republik of Iran bahwa, diantara semua jenis
trauma tertinggi yang dilaporkan yaitu sebanyak 78,7 % trauma kepala dan
kematian paling banyak juga disebabkan oleh trauma kepala (Karbakhsh, zand,
Rouzrokh, Zarei, 2009). Rata – rata rawat inap pada laki – laki dan wanita
akibat terjatuh dengan diagnosa trauma kepala sebanyak 146,3 per 100.000 dan
158,3 per 100.000 (Thomas 2006). Angka kematian trauma kepala akibat terjatuh
lebih tinggi pada laki – laki dibanding perempuan yaitu sebanyak 26,9 per
100.000 dan 1,8 per 100.000. Bagi lansia pada usia 65 tahun keatas, kematian
akibat trauma kepala mencatat 16.000 kematian dari 1,8 juta lansia di Amerika
yang mengalami trauma kepala akibat terjatuh. Menurut Kraus (1993), dalam
penelitiannya ditemukan bahwa anak remaja hingga dewasa muda mengalami cedera
kepala akibat terlibat dalam kecelakaan lalu lintas dan akibat kekerasan
sedangkan orang yang lebih tua cenderung mengalami trauma kepala disebabkan
oleh terjatuh.Menurut data yang diperolah dari rekam medik RSUD Atambua, pada
tiga tahun terakhir ini yaitu : tahun 2008 terdiri dari 142 orang, laki –laki :
107 orang ( 75,3 %), perempuan : 42 orang (29,5 %), Tahun 2009 : 163 orang,
laki – laki : 140 orang (85,8 %), perempuan : 23 orang (13,6 %), Tahun 2010 :
175 orang, laki – laki : 149 orang (85,1 %), perempuan : 26 orang ( 14,8 %).
Indonesia
sebagai negara berkembang ikut merasakan kemajuan teknologi, diantaranya bidang
transportasi. Dengan majunya transportasi, mobilitas penduduk pun ikut
meningkat. Namun akibat kemajuan ini, juga berdampak negatif yaitu semakin
tingginya angka kecelakaan lalu lintas karena ketidak hati – hatian dalam
berkendaraan. Sehingga dapat mengakibatkan berbagai cedera. Salah satu
cedera yang sering terjadi pada saat kecelakan lalu lintas adalah cedera
kepala (http://repository.usu.ac.id/
bitstream/ 12345678 /16495/5.chapter%201.pdf)
Cedera
kepala menduduki tingkat morbiditas dan mortalitas tertinggi, oleh karena itu
diperlukan pemahaman dan pengelolaan yang lebih baik terutama tentang
penanganan (A, B, C, D, E), pencegahan cedera otak sekunder dan cara merujuk
penderita secepat mungkin oleh untuk petugas kesehatan yang berada digaris
depan.
B. Tujuan Penulisan
1. Mahasiswa mampu melaksanakan
pengkajian pada pasien cedera kepala.
2. Mahasiswa mampu merumuskan
diagnosa keperawatan pada pasien dengan cedera kepala.
3. Mahasiswa mampu membuat rencana
tindakan keperawatan pada pasien dengan cedera kepala.
4. Mahasiswa mampu melaksanakan
rencana tindakan keperawatan pada pasien dengan cedera kepala.
5. Mahasiswa mampu melakukan
evaluasi terhadap tindakan keperawatan yang telah dilakukan.
6. Mahasiswa mampu melakukan
dokumentasi terhadap tindakan keperawatan yang telah dilakukan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi Fisiologi Otak
Otak dilindungi dari cedera
oleh rambut, kulit dan tulang yang membungkusnya. Tanpa perlindungan ini otak
yang lembut, yang membuat kita seperti adanya, akan mudah sekali terkena cedera
dan mengalami kerusakan. Cedera kepala dapat mengakibatkan malapetaka besar
bagi seseorang. Pada orang dewasa tengkorak merupakan ruangan keras yang tidak
memungkinkan perluasan isi intrakranial. Tulang sebenarnya terdiri dari 2
dinding atau tabula yang dipisahkan oleh tulang berongga.
Dinding luar disebut tabula
eksternal dan dinding bagian dalam disebut tabula internal. Pelindung lain yang
melapisi otak adalah meninges. Ketiga lapisan meninges adalah durameter,
araknoid dan piameter (Price, Silvia A ; 2005 : 1014).
Sistem persarafan terdiri dari:
a. Susunan saraf pusat
1) Otak
(a) Otak besar atau serebrum (cerebrum)
Mempunyai
dua belahan yaitu hemisfer
kiri dan hemisfer kanan yang
duhubungkan oleh massa substansi alba(substansia alba) yang disebut korpus kalosum (corpus
callosum). Serebrum terdiri atas : korteks sereri, basal ganglia (korpora
striate) dan sistem limbik(rhinencephalon).
(b) Otak kecil (serebelum)
Serebelum
(otak kecil) terletak dalam fossa kranial posterior, dibawah
tentorium serebelum bagian posterior dari pons varolii dan medula oblongata.
Serebelum mempunyai dua hemisfer yang dihubungkan oleh vermis. serebelum
dihubungkan dengan otak tengah oleh pedunkulus serebri superior, dengan pons
paroli oleh pedunkulus serebri media dan dengan medula oblongata oleh
pedunkulus serebri inferior. Lapisan permukaan setiap hemisfer serebri disebut
korteks yang disusun oleh substansia grisea. Lapisan – lapisan korteks serebri
ini dipisahkan oleh fisura transversus yang tersusun rapat. Kelompok massa substansia
grisea tertentu pada serebelum tertanam dalam substansia alba yang paling
besar dikenal sebagai nukleus dentatus.
(c) Batang otak.
Pada
permukaan batang otak terdapat medula oblongata, pons varolii, mesensefalon dan
diensefalon. Talamus dan epitalamus terlihat dipermukaan posterior batang otak
yang terletak diantara serabut capsula interna. Disepanjang pinggir dorsomedial
talamus terdapat sekelompok serabut saraf berjalan keposterior basis epifise.
2) Sum-sum tulang belakang (trunkus serebri)
Medula
spinalis merupakan bagian sistem saraf pusat yang menggambarkan perubahan
terakhir pada perkembangan embrio. Semula ruangannya besar kemudian mengecil
menjadi kanalis sentralis. Medulla spinalis terdiri atas dua belahan yang sama
dipersatukan oleh struktur intermedia yang dibentuk oleh sel saraf dan didukung
oleh jaringan interstisial.
Medula
spinalis membentang dari foramen magnum sampai setinggi vertebra lumbalis I dan
II, ujung bawahnya runcing menyerupai kerucut yang disebut konus medularis, terletak didalam kanalis vertebralis melanjut sebagai
benang-benang(filum terminale) dan akhirnya melekat pada
vertebra III sampai vertebra torakalis II, medula spinalis menebal kesamping.
penebalan ini dinamakan intumensensia servikalis.
b. Susunan saraf perifer
1) Susunan saraf somatik
Indra
somatik merupakan saraf yang mengumpulkan informasi sensori dari tubuh. Indra
ini berbeda dengan indra khusus (penglihatan, penghiduan, pendengaran,
pengecapan dan keseimbangan), indra somatik digolongkan menjadi 3 jenis :
(a).Indra somatik mekano
reseptif.
(b).Indra termoreseptor.
(c).Indra nyeri.
2) Susunan saraf otonom
Saraf
yang mempersarafi alat – alat dalam tubuh seperti kelenjar, pembuluh darah,
paru – paru, lambung, usus dan ginjal. Alat ini mendapat dua jenis persarafan
otonom yang fungsinya saling bertentangan, kalau yang satu merangsang yang
lainnya menghambat dan sebaliknya, kedua susunan saraf ini disebut saraf simpatis
dan saraf parasimpatis.
(syaifuddin
; 2009 : 335 – 360).
B. Cedera Kepala
1. Pengertian
Cedera
kepala : Meliputi trauma kepala, tengkorak dan otak. secara anatomis otak
dilindungi dari cedera oleh rambut, kulit kepala serta tulang dan tentorium
(helm) yang membungkusnya (Arif Muttaqin ; 2008 : 270).
Cedera
kepala : Dapat bersifat terbuka (menembus melalui dura meter) atau
tertutup (trauma tumpul, tanpa penetrasi melalui dura). Cedera kepala
terbuka memungkinkan patogen lingkungan memiliki akses langsung ke otak (Corwin
J.Elizabeth; 2005 : 175).
Jadi cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala terjadi
baik secara langsung bersifat terbuka atau tertutup yang dapat terlihat
meliputi trauma kulit kepala, tengkorak dan juga otak sehingga dapat
mengakibatkan gangguan fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif,
psikososial, bersifat temporer atau permanen.
2. Klasifikasi
Cedera
kepala dapat diklasifikasikan berdasarkan mekanisme, keparahan dan morfologi
cedera:
1) Mekanisme:
(a). Cedera kepala tumpul, dapat
disebabkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh atau pukulan benda tumpul.
(b). Cedera kepala tembus (penetrasi),
disebabkan luka tembak atau pukulan benda tumpul.
2) Berdasarkan beratnya:
a.
Cedera kepala ringan ( CKR ) Jika
GCS antara 13-15 , dpt terjadi kehilangan kesadaran kurang dari 30 menit,
tetapi ada yang menyebut kurang dari 2 jam, jika ada penyerta seperti fraktur
tengkorak , kontusio atau temotom (sekitar 55% ).
b.
Cedera kepala kepala sedang ( CKS )
jika GCS antara 9-12, hilang kesadaran atau amnesia antara 30 menit -24 jam,
dapat mengalami fraktur tengkorak, disorientasi ringan ( bingung ).
c.
Cedera kepala berat ( CKB ) jika GCS
3-8, hilang kesadaran lebih dari 24 jam, juga meliputi contusio cerebral,
laserasi atau adanya hematoma.
3) Berdasarkan morfologi:
(1) Fraktur tengkorak
(a).Kalvaria:
Linear atau stelata, Depressed ataunondepressed, Terbuka atau tertutup
(b).Dasar tengkorak: Dengan atau tanpa kebocoran CNS, Dengan atau
tanpa paresis/kelumpuhan nervus VII (fasial)
(2) Lesi intrakranial
(a).Fokal: Epidural, Subdural,
intraserebral
(b).Difusa: Komosio ringan, Komosio klasik, Cedera aksonal difusa( http://www.yayanakhyar.co.nr/2009)
4) Skala Coma Glasgow (GCS)
Tabel I.Skala Coma Glasgow
Buka mata (E)
|
Respon verbal (V)
|
Respon motorik (M)
|
1 Tidak ada reaksi
2 Dengan rang
sang nyeri
3 Terhadap suara
4 Spontan
|
1 Tidak ada jawaban
2 Mengerang
3 Tidak tepat
4 Kacau/confused
5 Baik,tidak ada dis
orientasi
|
1 Tidak ada reaksi
2 Reaksi
ekstensi(deserebrasi)
3 Reaksi fleksi(dekortikasi)
4 Reaksi menghindar
5 Melokalisir nyeri
6 Menurut perintah
|
(Sumber:dr George
Dewanto,Sp.s,dkk.Panduan Praktis:Diagnosis & Tatalaksana Penyakit Saraf)
Klasifikasi yang mendekati
keadaan klinis adalah berdasarkan nilai GCS yang dikeluarkan oleh The Traumatic
Coma Data Bank (Hudak dan Gallo ; 1996 : 59, dikutip oleh cholik Harun Risjidi)
Tabel 2. Kategori penentuan
keparahan cedera kepala berdasarkan nilai skala Koma Glasgow
Penentuan keparahan
|
Deskripsi
|
Frekuensi
|
Minor/ringan
|
GCS:13-15
Dapat terjadi kehilangan
kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30 menit
Tidak ada fraktur
tengkorak,tidak ada kontusio serebral,tidak ada hematom
|
55 %
|
Sedang
|
GCS:9-12
Kehilangan kesadaran dan/atau
amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam
Dapat mengalami fraktur
tengkorak
|
24 %
|
Berat
|
GCS:3-8
Kehilangan kesadaran dan
/atau amnesia lebih dari 24 jam,juga meliputi kontusio serebral,laserasi,
atau hematom intrakranial
|
21 %
|
(Sumber:Cholik Harun
Rosjidi,cs(Buku Ajar Perawatan Cedera Kepala & Stroke)
3.
Etiologi
Cidera kepala merupakan salah satu penyebab kematian
dan kecacatan utama pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat
kecelakaan lalu lintas ( Mansjoer, 2000:3).
Penyebab cidera kepala antara lain: kecelakaan lalu
lintas, perkelahian, terjatuh, dan cidera olah raga. Cidera kepala terbuka
sering disebabkan oleh peluru atau pisau (Corkrin, 2001:175).
4.
Manifestasi Klinis
Berdasarkan nilai GCS (Glasgow Coma Scale)
1.
Cidera kepala Ringan (CKR)
a.
GCS 13-15
b.
Kehilangan kesadaran/amnesia <30
menit
c.
Tidak ada fraktur tengkorak
d.
Tidak ada kontusio celebral,
hematoma
2.
Cidera Kepala Sedang (CKS)
a.
GCS 9-12
b.
Kehilangan kesadaran dan atau
amnesia >30 menit tetapi kurang dari 24 jam
c.
Dapat mengalami fraktur tengkorak
3.
Cidera Kepala Berat (CKB)
a.
GCS 3-8
b.
Kehilangan kesadaran dan atau
terjadi amnesia > 24 jam
c.
Juga meliputi kontusio celebral,
laserasi, atau hematoma intracranial (Hudak dan Gallo, 1996:226)
Manifestasi klinis yang timbul dapat berupa ganguan
kesadaran, konfusi, abnormalitas pupil, serangan (onset) tiba-tiba berupa
deposit neorologis, perubahan tanda vital, ganguan penglihatan, disfungsi
sensorik, kejang otot, sakit kepala, vertigo(pusing), ganguan pergerakan,
kejang, dan syok akibat cidera multi system.
5.
Patofisiologi
Patofisiologis
dari cedera kepala traumatic dibagi dalam proses primer dan proses sekunder.
Kerusakan yang terjadi dianggap karena gaya fisika yang berkaitan dengan suatu
trauma yang relative baru terjadi dan bersifat irreversible untuk sebagian
besar daerah otak. Walaupun kontusio dan laserasi yang terjadi pada permukaan
otak, terutama pada kutub temporal dan permukaan orbital dari lobus frontalis,
memberikan tanda-tanda jelas tetapi selama lebih dari 30 tahun telah dianggap
jejas akson difus pada substasi alba subkortex adalah penyebab utama kehilangan
kesadaran berkepanjangan, gangguan respon motorik dan pemulihan yang tidak
komplit yang merupakan penanda pasien yang menderita cedera kepala traumatik
berat.
Proses
primer timbul langsung pada saat trauma terjadi. Cedera primer biasanya fokal
(perdarahan, konusi) dan difus (jejas akson difus).Proses ini adalah kerusakan
otak tahap awal yang diakibatkan oleh benturan mekanik pada kepala, derajat
kerusakan tergantung pada kuat dan arah benturan, kondisi kepala yang bergerak
diam, percepatan dan perlambatan gerak kepala. Proses primer menyebabkan
fraktur tengkorak, perdarahan segera intrakranial, robekan regangan serabu saraf
dan kematian langsung pada daerah yang terkena.
Kerusakan
sekunder timbul beberapa waktu setelah trauma menyusul kerusakan primer. Dapat
dibagi menjadi penyebab sistemik dari intrakranial. Dari berbagai gangguan
sistemik, hipoksia dan hipotensi merupakan gangguan yang paling berarti.
Hipotensi menurunnya tekanan perfusi otak sehingga mengakibatkan terjadinya
iskemi dan infark otak. Perluasan kerusakan jaringan otak sekunder disebabkan
berbagai faktor seperti kerusakan sawar darah otak, gangguan aliran darah otak
metabolisme otak, gangguan hormonal, pengeluaran bahan-bahan neurotrasmiter dan
radikal bebas. Trauma saraf proses primer atau sekunder akan menimbulkan
gejala-gejala neurologis yang tergantung lokasi kerusakan. Kerusakan sistem saraf motorik yang berpusat dibagian belakang lobus
frontalis akan mengakibatkan kelumpuhan pada sisi lain. Gejala-gejala kerusakan
lobus-lobus lainnya baru akan ditemui setelah penderita sadar. Pada kerusakan
lobus oksipital akan dujumpai ganguan sensibilitas kulit pada sisi yang
berlawanan. Pada lobus frontalis mengakibatkan timbulnya seperti dijumpai pada
epilepsi lobus temporalis.
Kelainan metabolisme yang dijumpai pada penderita cedera kepala disebabkan adanya kerusakan di daerah hipotalamus. Kerusakan dibagian depan hipotalamus akan terjadi hepertermi. Lesi di regio optika berakibat timbulnya edema paru karena kontraksi sistem vena. Retensi air, natrium dan klor yang terjadi pada hari pertama setelah trauma tampaknya disebabkan oleh terlepasnya hormon ADH dari daerah belakang hipotalamus yang berhubungan dengan hipofisis. Setelah kurang lebih 5 hari natrium dan klor akan dikeluarkan melalui urine dalam jumlah berlebihan sehingga keseimbangannya menjadi negatif. Hiperglikemi dan glikosuria yang timbul juga disebabkan keadaan perangsangan pusat-pusat yang mempengaruhi metabolisme karbohidrat didalam batang otak.
Batang otak dapat mengalami kerusakan langsung karena benturan atau sekunder akibat fleksi atau torsi akut pada sambungan serviks medulla, karena kerusakan pembuluh darah atau karena penekanan oleh herniasi unkus. Gejala-gejala yang dapat timbul ialah fleksiditas umum yang terjadi pada lesi tranversal dibawah nukleus nervus statoakustikus, regiditas deserebrasi pada lesi tranversal setinggi nukleus rubber, lengan dan tungkai kaku dalam sikap ekstensi dan kedua lengan kaku dalam fleksi pada siku terjadi bila hubungan batang otak dengan korteks serebri terputus. Gejala-gejala Parkinson timbul pada kerusakan ganglion basal. Kerusakan-kerusakan saraf-saraf kranial dan traktus-traktus panjang menimbulkan gejala neurologis khas. Nafas dangkal tak teratur yang dijumpai pada kerusakan medula oblongata akan menimbulkan timbulnya Asidesil. Nafas yang cepat dan dalam yang terjadi pada gangguan setinggi diensefalon akan mengakibatkan alkalosisi respiratorik.
Kelainan metabolisme yang dijumpai pada penderita cedera kepala disebabkan adanya kerusakan di daerah hipotalamus. Kerusakan dibagian depan hipotalamus akan terjadi hepertermi. Lesi di regio optika berakibat timbulnya edema paru karena kontraksi sistem vena. Retensi air, natrium dan klor yang terjadi pada hari pertama setelah trauma tampaknya disebabkan oleh terlepasnya hormon ADH dari daerah belakang hipotalamus yang berhubungan dengan hipofisis. Setelah kurang lebih 5 hari natrium dan klor akan dikeluarkan melalui urine dalam jumlah berlebihan sehingga keseimbangannya menjadi negatif. Hiperglikemi dan glikosuria yang timbul juga disebabkan keadaan perangsangan pusat-pusat yang mempengaruhi metabolisme karbohidrat didalam batang otak.
Batang otak dapat mengalami kerusakan langsung karena benturan atau sekunder akibat fleksi atau torsi akut pada sambungan serviks medulla, karena kerusakan pembuluh darah atau karena penekanan oleh herniasi unkus. Gejala-gejala yang dapat timbul ialah fleksiditas umum yang terjadi pada lesi tranversal dibawah nukleus nervus statoakustikus, regiditas deserebrasi pada lesi tranversal setinggi nukleus rubber, lengan dan tungkai kaku dalam sikap ekstensi dan kedua lengan kaku dalam fleksi pada siku terjadi bila hubungan batang otak dengan korteks serebri terputus. Gejala-gejala Parkinson timbul pada kerusakan ganglion basal. Kerusakan-kerusakan saraf-saraf kranial dan traktus-traktus panjang menimbulkan gejala neurologis khas. Nafas dangkal tak teratur yang dijumpai pada kerusakan medula oblongata akan menimbulkan timbulnya Asidesil. Nafas yang cepat dan dalam yang terjadi pada gangguan setinggi diensefalon akan mengakibatkan alkalosisi respiratorik.
6.
Pemeriksaan Diagnosis
Pemeriksaan
diagnostik yang diperlukan pada klien dengan cedera kepala meliputi :
1.
CT scan (dengan /
tanpa kontras)
Mengidentifikasi
luasnya lesi, perdarahan, determinan, ventrikuler, dan perubahan jaringan otak.
2.
MRI
Digunakan
sama dengan CT scan dengan / tanpa kontras radioaktif.
3.
Cerebral Angiography
Menunjukkan
anomali sirkulasi serebral seperti perubahan jaringan otak sekunder menjadi
edema, perdarahan, dan trauma.
4.
Serial EEG
Dapat
melihat perkembangan gelombang patologis.
5.
Sinar-X
Mendeteksi
perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis (perdarahan /
edema), fragmen tulang.
6.
BAER
Mengoreksi
batas fungsi korteks dan otak kecil.
7.
PET
Mendeteksi
perubahan aktivitas metabolism otak.
8.
CSS
Lumbal
pungsi dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid.
9.
Kadar elektrolit
Untuk
mengoreksi keseimbangan elektrolit sebagai peningkatan tekanan intracranial.
10. Screen
Toxicology
Untuk
mendeteksi pengaruh obat yang dapat menyebabkan penurunan kesadaran.
11. Rontgen
thoraks 2 arah (PA/AP dan lateral)
Rontgen
thoraks menyatakan akumulasi udara / cairan pada area pleural.
12. Toraksentesis
menyatakan darah / cairan.
13. Analisa Gas
Darah (AGD / Astrup)
AGD adalah
salah satu tes diagnostic untuk menentukan status respirasi. Status respirasi
yang dapat digambarkan melalui pemeriksaan AGD ini adalah status oksigenasi dan
status asam basa.
7.
Komplikasi
1.
Perdarahan ulang
2.
Kebocoran cairan otak
3.
Infeksi pada luka atau sepsis
4.
Timbulnya edema serebri
5.
Timbulnya edema pulmonum neurogenik,
akibat peninggian TIK
6.
Nyeri kepala setelah penderita sadar
7.
Konvulsi
8.
Penatalaksaan Medis
Penatalaksanaan
saat awal trauma pada cedera kepala selain dari factor mempertahankan fungsi
ABC (airway, breathing, circulation) dan menilai status neurologis (disability,
exposure), maka factor yang harus diperhitungkan pula adalah mengurangi
iskemia serebri yang terjadi. Keadaan ini dapat dibantu dengan pemberian
oksigen dan glukosa sekalipun pada otak yang mengalami trauma relative
memerlukan oksigen dan glukosa yang lebih rendah.
Selain itu
perlu pula dikontrol kemungkinan tekanan intracranial yang meninggi disebabkan
oleh edema serebri. Sekalipun tidak jarang memerlukan tindakan operasi, tetapi
usaha untuk menurunkan tekanan intracranial ini dapat dilakukan dengan cara
menurunkan PaCO2 dengan hiperventilasi yang mengurangi asidosis
intraserebral dan menambah metabolisme intraserebral. Adapun usaha untuk
menurunkan PaCO2 ini yakin dengan intubasi endotrakeal,
hiperventilasi. Tin membuat intermittent iatrogenic paralisis. Intubasi
dilakukan sedini mungkin kepala klien-lkien yang koma untuk mencegah terjadinya
PaCO2 yang meninggi. Prinsip ABC dan ventilasi yang teratur
dapat mencegah peningkatan tekanan intracranial.
Penatalaksanaan
konservatif meliputi :
1.
Bedrest total.
2.
Observasi tanda-tanda vital (GCS dan
tingkat kesadaran).
3.
Pemberian obat-obatan
a.
Dexmethason / kalmethason sebagai
pengobatan anti-edema serebral, dosis sesuai dengan berat ringannya trauma.
b.
Terapi hiperventilasi (trauma kepala
berat), untuk mengurangi vasodilatasi.
c.
Pengobatan anti-edema dengan larutan
hipertonis, yaitu manitol 20%, atau glukosa 40%, atau gliserol 10%.
d.
Antibiotika yang mengandung barrier
darah otak (pensilin) atau untuk infeksi anaerob diberikan metronidasol.
4.
Makanan atau cairan. Pada trauma
ringan bila muntah-muntah tidak dapat diberikan apa-apa,hanya cairan infuse
dextrose 5%, aminofusin, aminofel (18 jam pertama dari terjadinya kecelakaan),
2-3 hari kemudian diberikan makanan lunak.
5.
Pada trauma berat. Karena hai-hari
pertama didapat klien mengalami penurunan kesadaran dan cenderung terjadi
retensi natrium dan elektrolit maka hari-hari pertama (2-3 hari) tidak terlalu
banyak cairan. Dextosa 5% 8 jam pertama, ringer dextrosa 8 jam kedua, dan
dextrose 5% 8 jam ketiga, pada hari selanjutnya bila kesadaran rendah maka
makanan diberikan melalui nasogastric tube (2500-300 TKTP). Pemberian protein
tergantung dari nilai urenitrogennya.
9.
Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Pengumpulan data klien baik
subjektif maupun objektif pada gangguan sistem persarafan sehubungan dengan
cedera kepala tergantung pada bentuk, lokasi, jenis injuri, dan adanya
komplikasi pada organ vital lainnya. Pengkajian keperawatan cedera kepala
meliputi anamnesis riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, pemeriksaan diagnostik
dan pengkajian psikososial.
a) Anamnesis
Identitas klien meliputi nama,
umur (kebanyakan terjadi pada usia muda), jenis kelamin (banyak laki – laki, karena
sering ngebut – ngebutan dengan motor tanpa pengaman helm), pendidikan, alamat,
pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam masuk rumah sakit, nomor
register, diagnosis medis.
Keluhan utama yang sering
menjadi alasan klien untuk meminta pertolongan kesehatan tergantung dari
seberapa jauh dampak trauma kepala disertai penurunan tingkat kesadaran.
b) Riwayat
penyakit saat ini
Adanya riwayat trauma yang
mengenai kepala akibat dari kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian, dan
trauma langsung kekepala. Pengkajian yang didapat meliputi tingkat kesadaran
menurun (GCS >15), konvulsi, muntah, takipnea, sakit kepala, wajah simetris
atau tidak, lemah, luka dikepala, paralisis, akumulasi sekret pada saluran
pernapasan, adanya liquor dari hidung dan telinga, serta kejang.
Adanya penurunan atau perubahan
pada tingkat kesadaran dihubungkan dengan perubahan didalam intrakranial.
Keluhan perubahan perilaku juga umum terjadi. Sesuai perkembangan penyakit,
dapat terjadi letargi, tidak responsif dan koma.
Perlu ditanyakan pada klien
atau keluarga yang mengantar klien (bila klien tidak sadar) tentang penggunaan
obat – obatan adiktif dan penggunaan alkohol yang sering terjadi pada beberapa
klien yang suka ngebut – ngebutan.
c) Riwayat
penyakit dahulu
Pengkajian yang perlu
dipertanyakan meliputi adanya riwayat hipertensi, riwayat cedera kepala
sebelumnya, diabetes melitus, penyakit jantung, anemia, penggunaan obat –
obat antikoagulan, aspirin, vasodilator,
obat – obat adiktif, konsumsi alkohol berlebihan.
d) Riwayat penyakit keluarga
Mengkaji adanya anggota
generasi terdahulu yang menderita hipertensi dan diabetes melitus.
e) Pengkajian
psiko-sosio-spiritual
Pengkajian mekanisme koping
yang digunakan klien untuk menilai respons emosi klien terhadap penyakit yang
dideritanya dan perubahan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta
respons atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari baik dalam keluarga
ataupun dalam masyarakat. Apakah ada dampak yang timbul pada klien, yaitu
timbul seperti ketakutan akan kecacatan, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk
melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah
(gangguan citra diri). Adanya perubahan hubungan dan peran karena klien mengalami
kesukaran untuk berkomunikasi akibat gangguan bicara. Pola persepsi dan konsep
diri didapatkan kllien merasa tidak berdaya, tidak ada harapan, mudah marah,
dan tidak kooperatif.
f) Pemeriksaan fisik
Setelah melakukan anamnesis
yang mengarah pada keluhan -keluhan klien, pemeriksaan fisik sangat berguna
untuk mendukng data dan pengkajian anamnesis. Pemeriksaan fisik sebaiknya
dilakukan persistem (B1 – B6) dengan fokus pemeriksaan fisik pada pemeriksaan
B3 (Brain) dan terarah dan dihubungkan dengan keluhan – keluhan dari klien.
Keadaan umum
Pada keadaaan cedera kepala
umumnya mengalami penurunan kesadaran (cedera kepala ringan/cedera otak ringan,
GCS 13 – 15, cedera kepala berat/ cedera otak berat, bila GCS kurang atau sama
dengan 8 dan terjadi perubahan pada tanda-tanda vital.
(1) B1 (Breathing)
Perubahan pada sistem
pernapasan bergantung pada gradiasi dari perubahan jaringa cerebral akibat
trauma kepala. Pada beberapa keadaan, hasil dari pemeriksaaan fisik dari sistem
ini akan didapatkan :
(a).Inspeksi
Diddaptakan klien batuk,
peningkatan produksi sputum, sesak napas, penggunaan otot bantu napas, dan
peningkatan frekuensi pernapasan. Terdapat retraksi klavikula/ dada,
pengembangan paru tidak simetris. Ekspansi dada : dinilai penuh/ tidak penuh
dan kesimetrisannya. Ketidak simetrisan mungkin menunjukan adanya atelektasis,
lesi pada paru, obstruksi pada bronkus, fraktur tulang iga, pnemothoraks, atau
penempatan endotrakeal dan tube trakeostomi yang kurang tepat. Pada observasi
ekspansi dada juga perlu dinilai : retraksi dari otot – otot interkostal, substernal,
pernapan abdomen, dan respirasi paradoks (retraksi abdomen saat inspirasi).
Pola napas ini dapat terjadi jika otot – otot interkostal tidak mampu
menggerakkan dinding dada.
(b).Palpasi
Fremitus menurun dibandingkan
dengan sisi yang lain akan didapatkan apabila melibatkan trauma pada rongga
thoraks.
(c).Perkusi
Adanya suara redup sampai pekak
pada keadaan melibatkan trauma pada thoraks/ hematothoraks
(d).Auskultasi
Bunyi napas tambahan seperti
napas berbunyi, stridor, ronkhi pada klien dengan peningkatan produksi sekret
dan kemampuan batuk yang menurun sering didapatkan pada klien cedera kepala
dengan penurunan tingkat kesadaran koma.
(2) B2 (Blood)
Pengkajian pada sistem
kardiovaskuler didapatkan renjatan (syok) hipovolemik yang sering terjadi pada
klien cedera kepala sedang dan berat.
Hasil pemeriksaan
kardiovaskuler klien cedera kepala pada beberapa keadaan dapat ditemukan
tekanan darah normal atau berubah, nadi bradikardi, takikardia da aritmia.
Frekuensi nadi cepat dan lemah berhubungan dengan homeostatis tubuh dalam upaya
menyeimbangkan kebutuhan oksigen perifer. Nadi bradikardia merupakan tanda dari
perubahan perfusi jaringan otak. Kulit kelihatan pucat menandakan adanya
penurunan kadar hemaglobin dalam darah. Hipotensi menandakan adanya perubahan
perfusi jaringan dan tanda -tanda awal dari suatu syok. Pada beberapa keadaan
lain akibat dari trauma kepala akan merangsang pelepasan antidiuretik hormon
(ADH) yang berdampak pada kompensasi tubuh untuk mengeluarkan retensi atau
pengeluaran garam dan air oleh tubulus. Mekanisme ini akan meningkatkan
konsentrasi elektolit meningkat sehingga memberikan resiko terjadinya gangguan
keseimbangan cairan dan elektrolit pada sistem kardiovaskuler.
(3) B3 (Brain)
Cedera kepala menyebabkan
berbagai defisit neurologis terutama disebabkan pengaruh peningkatan tekanan
intrakranial akibat adanya perdarahan baik bersifat intraserebral hematoma,
subdural hematoma dan epidural hematoma. Pengkajian B3 (Brain) merupakan pemeriksaan fokus dan lebih lengkap dibandingkan
pengkajian pada sistem lainnya.
(a).Tingkat
kesadaran
Tingkat kesadaran klien dan
respon terhadap lingkungan adalah indikator paling sensitif untuk menilai
disfungsi sistem persarafan. Pada keadaan lanjut tingkat kesadaran klien cedera
kepala biasanya berkisar pada tingkat letargi, stupor, semikomatosa, sampai
koma.
(b).Pemeriksan
fungsi serebral
Status mental : Observasi
penampilan klien dan tingkah lakunya, nilai gaya bicara klien dan observasi
ekspresi wajah, dan aktivitas motorik pada klien cedera kepala tahap lanjut
biasanya status mental mengalami perubahan.
Fungsi intelektual : Pada
keadaan klien cedera kepala didapatkan penurunan dalam ingatan dan memori baik
jangka pendek maupun jangka panjang
Lobus frontal : Kerusakan
fungsi kognitif dan efek psikologis didapatkan bila trauma kepala mengakibatkan
adanya kerusakan pada lobus frontal kapasitas, memori atau fungsi intelektual
kortikal yang lebih tinggi mungkin rusak disfungsi ini dapat ditunjukkan dalam
lapang perhatian terbatas, kesulitan dalam pemahaman, lupa dan kurang motivasi,
yang menyebabkan klien ini menghadapi masalah frustasi dalam program
rehabilitasi mereka. Masalah psikologi lain juga umum terjadi dan
dimanifestasikan oleh labilitas emosional, bermusuhan, frustasi, dendam
da kurang kerja sama.
Hemisfer : Cedera kepala
hemisfer kanan didapatkan hemiparase sebelah kiri tubuh, penilaian buruk, dan
mempunyai kerentanan terhadap sisi kolateral sehingga kemungkinan terjatuh
kesisi yang berlawanan tersebut. Cedera kepala pada hemisfer kiri, mengalami
hemiparase kanan, perilaku lambat dan sangat hati – hati, kelainan bidang
pandang sebelah kanan, disfagia global, afasia dan mudah frustrasi
(c).Pemeriksaan
saraf kranial
Saraf I
Pada beberapa keadaan cedera
kepala didaerah yang merusak anatomis dan fisiologis saraf ini klien akan
mengalami kelainan pada fungsi penciuman/anosmia unilateral atau bilateral
Saraf II
Hematoma palpebra pada klien
cedera kepala akan menurunkan lapangan penglihatan dan menggangu fungsi dari
nervus optikus. Perdarahan diruang intrakranial, terutama hemoragia
subarakhnoidal, dapat disertai dengan perdarahan diretina. Anomali pembuluh
darah didalam otak dapat bermanifestasi juga difundus. Tetapi dari segala macam
kalainan didalam ruang intrakranial, tekanan intrakranial dapat dicerminkan
pada fundus
Saraf III, IV da VI
Gangguan mengangkat kelopak
mata terutama pada klien dengan trauma yang merusak rongga orbital. pada
kasus-kasus trauma kepala dapat dijumpai anisokoria. Gejala ini harus dianggap
sebagai tanda serius jika midriasis itu tidak bereaksi pada penyinaran. Tanda
awal herniasi tentorium adalah midriasis yang tidak bereaksi pada penyinaran.
Paralisis otot – otot okular akan menyusul pada tahap berikutnya. Jika
pada trauma kepala terdapat anisokoria dimana bukannya midriasis yang
ditemukan, melainkan miosis yang bergandengan dengan pupil yang normal pada
sisi yang lain, maka pupil yang miosislah yang abnormal. Miosis ini disebabkan
oleh lesi dilobus frontalis
ipsilateralyang mengelola pusat siliospinal. Hilangnya fungsi itu berarti
pusat siliospinal menjadi tidak aktif sehingga pupil tidak berdilatasi
melainkan berkonstriksi.
Saraf V
Pada beberapa keadaan cedera
kepala menyebabkan paralisis nervus trigenimus, didapatkan penurunan kemampuan
koordinasi gerakan menguyah
Saraf VII
Persepsi pengecapan mengalami
perubahan
Saraf VIII
Perubahan fungsi pendengaran
pada klien cedera kepala ringan biasanya tidak didapatkan penurunan apabila
trauma yang terjadi tidak melibatkan saraf vestibulokoklearis
Saraf IX dan Xl
Kemampuan menelan kurang baik,
kesukaran membuka mulut.
Saraf XI
Bila tidak melibatkan trauma
pada leher, mobilitas klien cukup baik dan tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideusdan trapezius.
Saraf XII
Indra pengecapan mengalami
perubahan
(d).Sistem
motorik
Inspeksi umum : Didapatkan
hemiplegia (paralisis pada salah satu sisi) karena lesi pada sisi otak
yang berlawanan. Hemiparesis (kelemahan salah satu sisi tubuh) adalah tanda
yang lain.
Tonus otot : Didapatkan menurun
sampai hilang.
Kekuatan otot : Pada penilaian
dengan menggunakan grade kekuatan otot didapatkan grade O
Keseimbangan dan koordinasi :
Didapatkan mengalami gangguan karena hemiparase dan hemiplegia.
(e).Pemeriksaan
reflek
Pemeriksaan reflek dalam :
Pengetukan pda tendon, ligamentum atau periosteum derajat refleks pada respon
normal.
Pemeriksaan refleks patologis ;
Pada fase akut refleks fisiologis sisi yag lumpuh akan menghilang. Setelah
beberapa hari refleks fisiologis akan muncul kembali didahului dengan refleks
patologis.
(f). Sistem sensorik
Dapat terjadi hemihipestasi
persepsi adalah ketidakmampuan untuk menginterpretasikan sensasi.Disfungsi persepsivisual karena gangguan jaras sensorik
primer diantara mata dan korteks visual. Gangguan hubungan visual spasial
(mendapatkan hubungan dua atau lebih objek dalam area spasial) sering terlihat
pada klien dengan hemiplegia kiri.
Kehilangan sensorik karena
cedera kepala dapat berupa kerusakan sentuhan ringan atau mungkin lebih berat
dengan kehilangan propriosepsi (kemampuan untuk merasakan posisi dan gerakan
bagian tubuh) serta kesulitan dalam menginterpretasikan stimulasi visual,
taktil dan auditorius.
(4) B4 (Bladder)
Kaji keadaan urine meliputi
warna, jumlah dan karakteristik, termasuk berat jenis. Penurunan jumlah urine
dan peningkatan retensi cairan dapat terjadi akibat menurunnya perfusi ginjal.
Setelah cedera kepala klien mungkin mengalami inkontinensia urine karena
konfusi, ketidakmampuan mengomunikasikan kebutuhan, dan ketidakmampuan untuk
menggunakan urinal karena kerusakan kontrol motorik dan postural. Kadang-kadang
kontrol sfingter urinarius eksternal hilang atau berkurang. Selama periode ini,
dilakukan kateterisasi intermiten dengan teknik steril. Inkontinensia urine
yang berlanjut menunjukan kerusakan neurologis luas.
(5) B5 (Bowel)
Didapatkan adanya keluhan
kesulitan menelan, nafsu makan menurun, mual muntah pada fase akut. Mual dan
muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi asam lambung sehingga
menimbulkan masalah pemenuhan nutrisi. Pola defekasi biasanya terjadi
konstipasi akibat penurunan peristaltik usus. Adanya inkontinensia alvi yang
berlanjut menunjukan kerusakan neurologis luas.
Pemeriksaan rongga mulut dengan
melakukan penilaian ada tidaknya lesi pada mulut atau perubahan pada lidah
dapat menunjukan adanya dehidrasi. Pemeriksaan bising usus untuk menilai ada
atau tidaknya dan kualitas bising usus harus dikaji sebelum melakukan palpasi
abdomen. Bising usus menurun atau hilang dapat terjadi pada paralitik ileus dan
peritonitis. Lakukan observasi bising usus selama ± 2 menit. Penurunan
motilitas usus dapat terjadi akibat tertelannya udara yag berasal dari sekitar
selang endotrakeal dan nasotrakeal.
(6) Tulang (Bone)
Disfungsi motorik paling umum
adalah kelemahan pada seluruh ekstremitas. Kaji warna kulit, suhu kelembapan
dan turgor kulit. Adanya perubahan warna kulit warna kebiruan menunjukan adanya
sianosis (ujung kuku, ekstremitas, telinga, hidung, bibir dan membran mukosa).
Pucat pada wajah dan membran mukosa dapat berhubungan dengan rendahnya kadar
haemaglobin atau syok. Pucat dan sianosis pada klien yang menggunakan
ventilator dapat terjadi akibat adanya hipoksemia. Joundice (warna kuning) pada
klien yang menggunakan respirator dapat terjadi akibat penurunan aliran darah
portal akibat dari penggunaan pocked red cells (PRC) dalam jangka waktu lama.
Pada klien dengan kulit gelap.
Perubahan warna tersebut tidak begitu jelas terlihat. Warna kemerahan pada
kulit dapat menunjukan adanya demam dan infeksi. Integritas kulit untuk menilai
adanya lesi dan dekubitus. Adanya kesukaran untuk beraktivitas karena
kelemahan, kehilangan sensorik atau paralisis/ hemiplegia, mudah lelah
menyebabkan masalah pada pola aktivitas dan istirahat.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Resiko tinggi peningkatan
tekanan intrakranial yang berhubungan dengan desak ruang sekunder dari kompresi
korteks serebri dari adanya perdarahan baik bersifat intraserebral hematoma ,
subdural hematoma dan epidural hematoma.
b. Ketidakefektifan pola
pernapasan yang berhubungan dengan depresi pada pusat pernapasan diotak,
kelemahan otot – otot pernapasan, ekspansi paru yang tidak optimal karena
akumulasi udara/cairan, dan perubahan perbandingan O2 dengan CO2, kegagalan ventiltor.
c. Tidak efektif kebersihan jalan
napas yang berhubungan dengan penumpukan sputum peningkatan sekresi sekret,
penurunan batuk sekunder, akibat nyeri dan keletihan, adanya jalan napas buatan
pada trakea, ketidakmampuan batuk/batuk efektif.
d. Perubahan kenyamanan : nyeri
akut yang berhubungan dengan trauma jaringan dan refleks spasme otot sekunder.
e. Cemas/takut yang berhubungan
dengan krisis situasional : ancaman terhadap konsep diri, takut mati,
ketergantungan pada alat bantu, perubahan status kesehatan/ status ekonomi/
fungsi peran, hubungan interpersonal/ penularan
3. Rencana Intervensi
a. Resiko tinggi peningkatan TIK
yang berhubungan dengan desak ruang sekunder dari kompresi korteks serebri dari
adanya perdarahan baik bersifat intraserebral hematoma, subdural hematoma, dan
epidural hematoma.
Tujuan :
Dalam waktu 2 x 24 jam tidak terjadi peningkatan TIK pada klien.
Kriteria hasil:
Klien tidak gelisah, klien
tidak mengeluh nyeri kepala, mual muntah. GCS : 4, 5, 6,tidak terdapat
papiledema, TTV dalam batas normal
Intervensi:
Mandiri:
1) Kaji faktor penyebab dari
situasi/ keadaan individu/ penyebab koma/ penurunan perfusi jaringan dan
kemungkinan penyebab peningkatan TIK.
R/
Deteksi dini untuk memprioritaskan intervensi, mengkaji status neurologis/
tanda – tanda kegagalan untuk menentukan perawatan kegawatan atau tindakan
pembedahan
2) Memonitor tanda – tanda vital
tiap 4 jam.
R/
suatu keadaan normal bila sirkulasi serebral terpelihara dengan baik atau
fluktuasi ditandai dengan tekanan darah sistemik penurunan dari autoregulator.
Kebanyakan merupakan tanda penurunan difusi lokal vaskularisasi darah serebral.
Dengan peningkatan tekanan darah (diastolik) maka dibarengi dengan peningkatan
tekanan darah intrakranial. Adanya peningkatan tekanan darah, bradikardi,
disritmia, dispnea merupakan tanda terjadinya peningkatan TIK.
3) Evaluasi pupil, amati ukuran,
ketajaman dan reaksi terhadap cahaya.
R/
Reaksi pupil dan pergerakan kembali
dari bola mata merupakan tanda dari gangguan nervus/saraf jika batang otak
terkoyak. Reaksi pupil diatur oleh saraf III kranial (okulomotorik) yang
menunjukan keutuhan batang otak, ukuran pupil menunjukan keseimbangan antara
parasimpatis dan simpatis. Respons terhadap cahaya merupakan kombinasi fungsi
dari saraf kranial II dan III.
4) Monitor temperatur da
pengaturan suhu lingkungan .
R/
Panas merupakan refleks dari hipotalamus. peningkatan kebutuhan metabolisme dan
O2 akan menunjang TIK/ICP (intrakranial pressure).
5) Pertahankan kepala/leher pada
posisi yang netral, usahakan dengan sedikit bantal. Hindari penggunaan batal
yang tinggi pada kepala.
R/
Perubahan kepada salah satu sisi dapat menimbulkan penekanan pada venajugularis
dan menghambat aliran darah ke otak (menghambat drainase pada vena serebral),
untuk itu dapat meningkatkan tekanan intrakranial.
6) Berikan periode istirahat
antara tindakan perawatan dan batasi lamanya prosedur.
R/
Tindakan yang terus menerus dapat meningkatkan TIK oleh efek rangsagan
kumulatif.
7) Kurangi rangsangan ekstra dan
berikan rasa nyaman seperti masase punggung, lingkungan yang tenang, sentuhan
yang ramah dan suasana/pembicaraan yang tidak gaduh.
R/
Memberikan suasana yang tenang (colming effect) dapat mengurangi respons
psikologis dan memberikan istirahat untuk mempertahankan TIK yang rendah.
8) Cegah/hindarkan terjadinya
valsava manuver.
R/
Mengurangi tekanan intrathorakal dan intraabdominal sehingga menghindari
peningkatan TIK.
9) Bantu klien jika batuk, muntah
R/
Aktivitas ini dapat meningkatan intrathorak/tekanan dalam thoraks dan tekanan dalam
abdomen dimana aktivitas ini dapat meningkatkan TIK.
10)Kaji
peningkatan istirahat dan tingkah laku
R/
Tingkah nonverbal ini dapat merupakan indikasi peningkatan TIK atau memberikan
refleks nyeri dimana klien tidak mampu mengungkapkan keluhan secara verbal,
nyeri yang tidak menurundapat meningkatkan TIK.
11)Palpasi
pada pembesaran/pelebaran bladder, pertahankan drainase urine secara paten jika
digunakan dan juga monitor terdapatnya konstipasi.
R/
Dapat meningkatkan respons otomatis yang potensial menaikkan TIK.
12)Berikan
penjelasan pada klien (jika sadar) dan keluarga tentang sebab akibat TIK
meningkat.
R/
Meningkatkan kerja sama dalam meningkatkan perawatan klien dan mengurangi
kecemasan.
13)Observasi
tingkat kesadaran GCS
R/
Perubahan kesadaran menunjukkan peningkatan TIK dan berguna menentukan lokasi
dan perkembangan penyakit.
Kolaborasi:
1) Pemberian O2 sesuai indikasi.
R/
Mengurangi hipoksemia, dimana dapat meningkatkan vasodilatasi serebral, volume
darah, dan menaikkan TIK
2) Kolaborasi untuk tindakan
operatif evakuasi darah dari dalam intrakranial.
R/
Tindakan pembedahan untuk evakuasi darah dilakukan bila kemungkinan terdapat
tanda – tanda defisit neurologis yang menandakan peningkatan intrakranial.
3) Berikan cairan intravena sesuai
indikasi
R/
Pemberian cairan mungkin diiginkan untuk mengurangi edema serebral, peningkatan
minimum pada pembuluh darah , tekanan darah dan TIK.
4) Berikan obat osmosisdiuretik,
contohnya : manitol, furoslide
R/
Diuretik mungkin digunakan pada fase akut untuk mengalirkan air dari sel otak
dan mengurangi edema serebral dari TIK
5) Berikan steroid contohnya :
Dexamethason,
methylprenidsolon.
R/
Untuk menurunkan inflamasi (radang) dan mengurangi edema jaringan.
6) Berikan analgesik narkotik,
contoh : kodein
R/
Mungkin diindikasikan nyeri dan obat ini berefek negatif pada TIK tetapi
digunakan dengan tujuan untuk mencegah dan menurunkan sensasi nyeri.
7) Berikan antipiretik, contohnya
: asetaminofen.
R/
Mengurangi/mengontrol hari dan pada metabolisme serebral/oksigen yang
diinginkan.
8) Monitor hasil laboratorium
sesuai dengan indikasi seperti prothrombin, LED
R/
Membantu memberikan informan tentang efektivitas pemberian obat.
b. Ketidakefektifan pola
pernapasan yang berhubungan dengan depresi pusat pernapasan, kelemahan otot –
otot pernapasan, ekspansi paru yang tidak meksimal karen trauma, dan perubahan
perbandingan O2 dan CO2,kegagalan
ventilator.
Tujuan:
Dalam waktu 3 x 24 jam setelah
intervensi, adanya peningkatan, pola napas kembali efektif.
Kriteria hasil:
Memperlihatkan frekuensi
pernapasan yang efektif, mengalami perbaikan pertukaran gas – gas pada paru,
adaptif mengatasi faktor – faktor penyebab.
Intervensi:
1) Berikan posisi yang nyaman,
biasanya dengan peninggian kepala tempat tidur. Balik kesisi yang sakit. Dorong
klien untuk duduk sebanyak mungkin.
R/ Meningkatkan inspirasi maksimal,
meningkatkan ekspansi paru dan ventilasi pada sisi yang tidak sakit.
2) Observasi fungsi pernapasan,
catat frekuensi pernapasan, dispnea atau perubahan tanda-tanda vital.
R/ Distress pernapasan dan perubahan
pada tanda vital dapat terjadi sebagai akibat stres fisiologis dan nyeri atau
dapat menunjukan terjadinya terjadinya syok sehubungan dengan hipoksia.
3) Jelaskan pada klien tentang
etiologi/faktor pencetus adanya sesak atau kolaps paru – paru.
R/ Pengetahuan apa yang diharapkan
dapat mengurangi ansietas dan mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana
terapeutik.
4) Pertahankan perilaku
tenang,bantu klien untuk kontrol diri dengan menggunakan pernapasan lebih
lambat dan dalam.
R/ Membantu klien mengalami efek
fisiologi hipoksia, yang dapat dimanifestasikan sebagai ketakutan/ansietas.
5) Periksalah alarm pada
ventilator sebelum difungsikan jangan mematikan alarm.
R/
Ventilator yang memiliki alarm yang biasa dilihat dan didengar misalnya alarm
kadar oksigen, tinggi/ rendahnya tekanan oksigen.
6) Taruhlah kantung resusitasi
disamping tempat tidur dan manual ventilasi untuk sewaktu – waktu dapat
digunakan.
R/ Kantung resusitasi/manual
ventilasi sangat berguna untuk mempertahankan fungsi pernapasan jika terjadi
gangguan pada alat ventilator secara mendadak.
7) Bantulah klien untuk mengontrol
pernapasan jika ventilator tiba – tiba berhenti
R/ Melatih klien untuk mengatur
napas, seperti napas dalam, napas pelan, napas perut, pengaturan posisi, dan
teknik relaksasi dapat membantu memaksimalkan fungsi dari sistem pernapasan.
8) Perhatikan letak dan fungsi
ventilator secara rutin. Pengecekan konsentrasi oksigen, memeriksa tekanan
oksigen dalam tabung, monitor manometer untuk menganalisis batas/kadar oksigen.
Mengkaji tidal volume (10 – 15 ml/kg). Periksa fungsi spirometer
R/ Memerhatikan letak dan fungsi
ventilator sebagai kesiapan perawat dalam memberikan tindakan pada penyakit
primer setelah menilai hasil diagnostik dan menyediakan sebagai cadangan.
9) Kolaborasi dengan tim kesehatan
lain : Dengan dokter, radiologi dan fisioterapi.
a) Pemberian antibiotik.
b) Pemberian analgesik.
c) Fisioterapi dada.
d) Konsul foto thoraks.
R/
Kolaborasi dengan tim kesehatan lainuntuk mengevaluasi perbaikan kondisi klien
atas pengembangan parunya.
c. Tidak efektif bersihan jalan
napas yang berhubungan dengan adanya jalan napas buatan pada trakea,
peningkatan sekresi sekret dan ketidakmampuan batuk/batuk efektif sekunder
akibat nyeri dan keletihan.
Tujuan : Dalam waktu 3 x 24 jam terdapat
perilaku peningkatan keefektifan jalan napas.
Kriteria hasil : Bunyi napas terdengar bersih,
ronkhi tidak terdengar, tracheal tube bebas sumbatan, menunjukan batuk yang
efektif, tidak ada lagi penumpukan sekret disaluran pernapasan.
Intervensi:
1) Kaji keadaan jalan napas
R/ Obstruksi mungkin dapat disebabkan
oleh akumulasi sekret, sisa cairan mukus, perdarahan, bronkhospasme, dan/atau
posisi dari endotracheal/ tracheostomy
tubeyag berubah.
2) Evaluasi pergerakan dan auskultasi suara napas pada kedua paru (bilateral)
R/ Pergerakan dada yang simeteris
dengan suara napas yang keluar dari paru – paru menandakan jalan napas tidak
terganggu. Saluran napas bagian bawah tersumbat dapat terjadi pada
pneumonia/atelektasis akan menimbulkan perubahan suara napas seperti ronkhi atauwheezing.
3) Monitor letak posisi
endotrakeal tube, beri tanda batas bibir. Letakkan tube secara hati – hati
dengan memakai perekat khusus. Mohon bantuan perawat lain ketika memasang dan
mengatur posisi tube.
R/ Endotracheal tube dapat saja masuk
kedalam bronkhus kanan, menyebabkan obstruksi jalan napas keparu – paru kanan
dan mengakibatkan klien mengalami pneumothoraks
4) Catat adanya batuk,
bertambahnya sesak napas, suara alarm dari ventilator karena tekanan yang
tinggi, pengeluaran sekret melalui endotracheal/tracheostomy tube, bertambahnya
bunyi ronkhi.
R/ Selama intubasi klien mengalami refleks
batuk yang tidak efektif, atau klien akan mengalami kelemahan otot-otot
pernapasan (neuromuskular/neurosensorik), keterlambatan untuk batuk. Semua
klien tergantung dari alternatif yag dilakukan seperti mengisap lendir dari
jalan napas.
5) Lakukan pengisapan lendir jika
diperlukan, batasi durasi pengisapan dengan 15 detik atau lebih. Gunakan
kateter penghisap yag sesuai, cairan fisiologis steril. Berikan oksigen 100 %
sebelum dilakukan penghisapan dengan ambubag (hiperventilasi).
R/ Pengisapan lendir tidak selamnya
dilakukan terus -menerus, dan durasinya pun dapat dikurangi untuk mencegah
bahaya hipoksia
6) Anjurkan klien teknik batuk
selama pengisapan seperti waktu bernapas panjang, batuk kuat, bersin jika ada
indikasi.
R/ Batuk yang efektif dapat
mengeluarkan
sekret dari
saluran napas.
7) Atur/ubah posisi klien secara
teratur (tiap 2 jam)
R/ Mengatur pengeluaran sekret dan
ventilasi segmen paru – paru, mengurangi resiko atelektasis.
8) Berikan minum hangat jika
keadaan memungkinkan.
R/ Membantu pengeceran sekret,
mempermudah pengeluaran sekret.
9) Jelaskan kepada klien tentang
kegunaan batuk efektif dan mengapa terdapat penumpukan sekret disaluran pernapasan.
R/ Pengetahuan yang diharapkan akan
membantu mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana terapeutik.
10) Ajarkan
klien tentang metode yang tepat untuk pengontrolan batuk.
R/ batuk yang tidak terkontrol adalah melelahkan
dan tidak efektif, dapat menyebabkan frustasi
11)Napas
dalam dan perlahan saat duduk setegak mungkin
R/
memungkinkan expansi pun lebih luas
12)Lakukan
pernapasan diafragma
R/ pernapasan diafragma menurunkan
frekuensi napas dan ventilasi alveolar.
13)Tahan
napas selama 3 – 5 detik kemudian secara perlahan, lahan keluarkan sebanyak
mungkin melalui mulut.
R/ meningkatkan volume udara dalam
paru, mempermudah pengeluaran sekresi sekret
14) Lakukan
napas kedua, tahan, dan batukkan dari dada dengan melakukan 2 batuk pendek dan
kuat.
R/ pengkajian ini membantu
mengevaluasi keefektifan batuk klien.
15)Auskultasi
paru sebelum dan sesudah klien batuk.
R/ sekresi kental sulit untuk diencerkan
dan dapat menyebabkan sumbatan mukus yang mengarah pada atelektasis.
16)Ajarkan
klien tindakan untuk menurunkan viskositas sekresi : mempertahankan hidrasi
yang adekuat, meningkatkan masukan cairan 1000-1500cc/hari bisa tidak ada
kontraindikasi.
R/ untuk menghindari pengentalan dari
sekret atau mukosa pada saluran napas bagian atas
17)Dorong
atau berikan perawatan mulut yang baik setelah batuk.
R/ higene mulut yang baik meningkatkan
rasa kesejahteraan dan mencegah bau mulut.
18)Kolaborasi
dengan dokter, radiologi, dan fisioterapi.
1) Pemberian ekpektoran
2) Pemberian antibiotik
3) Fisioterapi dada
4) Konsul foto thoraks
R/ ekspektoran untuk memudahkan mengeluarkan lendir dan mengevaluasi kndisi
klien pengembangan parunya.
19)Lakukan
fisioterapi dada sesuai indikasi seperti postural drainase, perkusi /
penepukan.
R/ mengatur ventilasi segment paru – paru
sekret.
20)Berikan
obat – obat bronkhodilator sesuai indikasi seperti aminophilin, meta-protereno
sulfat (alupent), adoetharine hydrochloride (bronkosal).
R/ mengatur ventilasi dan melepaskan sekret karena relaksasi muscle /
bronchospasme.
d. Nyeri akut yang berhubungan
dengan trauma jaringan dan refleks spasme otot sekunder.
Tujuan : dalam waktu 3 x 24 jam nyeri
berkurang / hilang
Kriteria hasil : secara subyektif melaporkan
nyeri berkurang atau dapat di adaptasi, dapat mengidentifikasi yang
meningkatkan atau menurunkan nyeri, klien tidak gelisah.
Intervensi:
1) Jelaskan dan bantu klien dengan
tindakan pereda nyeri nonfarmakoloni dan non invasif.
R/ pendekatan dengan menggunakan relaksasi
dan nonfarmakologi lainnya telah menunjukan keefektifan dalam mengurangi nyeri
2) Ajarkan relaksasi.Teknik-teknik
untuk menurunkan ketegangan otot rangka, yang dapat menurunkan intensitas nyeri
dan juga tingkatkan relaksasi masase.
R/ Akan melancarkan peredaran darah
sehingga kebutuhan O2 oleh jaringan akan terpenuhi dan akan mengurangi
nyerinya.
3) Ajarkan metode distraksi selama
nyeri akut.
R/ mengalihkan perhatian nyerinya ke
hal-hal yang menyenangkan.
4) Berikan kesempatan waktu
istirahat bila terasa nyeri dan berikan posisi yang nyaman misalnya ketika tidur
belakangnya dipasang bantal kecil.
R/ istirahat akan merelaksasikan semua
jaringan sehingga akan meningkatkan kenyamanan.
5) Tingkatkan pengetahuan tentang
penyebab nyeri dan menghubungkan berapa lama nyeri akan berlangsung.
R/ pengetahuan yang akan dirasakan
membantu mengurangi nyerinya dan dapat membantu mengembangkan kepatuhan
klien terhadap rencana terapeutik.
6) Observasi tingkat nyeri dan
respon motorik klien,30 menit setelah pemberian obat analgesik untuk mengkaji
efektifitasnya serta setiap 1 – 2 jam setelah tindakan perawatan selam 1 – 2
hari.
R/ pengkajian yang optimal akan memberikan
perawat data yang objektif untuk mencegah kemungkinan komplikasi dan melakukan
: intervensi yang tepat.
7) Kolaborasi dengan dokter,
pemberian analgesik.
R/ analgesik memblok lintasan nyeri,
sehingga nyeri akan berkurang.
e. Cemas atau takut yang
berhubungan dengan krisis situasional : ancaman terhadap konsep diri, takut
mati/ketergantungan pada alat bantu/ perubahan status kesehatan/status
ekonomi/fungsi peran, hubungan interpersonal.
Tujuan : dalam waktu 1 x 24 jam secara subjektif melaporkan rasa cemas
berkurang.
Kriteria Hasil : klien mampu mengungkapkan
perasaan yang kaku, cara-cara yang sehat kepada perawat, klien dapat
mendemonstrasikan keterampilan pemecahan masalahnya dan perubahan koping yang
digunakan sesaui situasi yang di hadapi, klien dapat mencatat penurunan
kecemasan/ketakutan di bawah standar, klien dapat rileks dan tidur/istirahat
dengan baik.
Intervensi : Mandiri.
1) Identifikasi persepsi klien
untuk menggambarkan tindakan sesuai situasi
R/ menegaskan batasan masalah
individu dan pengeruhnya selama diberikan intervensi.
2) Monitor rspon fisik seperti :
Kelemahan, perubahan tanda vital gerakan yang berulang-ulang, catat kesesuaian
respons verbal dan non verbal selama komunikasi.
R/ digunakan dalam mengevaluasi
derajat/ tingkat kesadaran/ konsentrasi, khususnya ketika melakukan komunikasi
verbal.
3) Anjurkan klien dan keluarga
untuk mengungkapkan dan mengekspresikan rasa takutnya.
R/ Memberikan kesempata untuk
berkonsentrasi, kejelasan dari rasa takut, dan mengurangi cemas yang
berlebihan.
4) Akuilah situasi yang membuat
cemas dan takut. Hindari perasaan yang tak berarti seperti mengatakan semuanya
akan menjadi baik.
R/ Memvalidasi situasi yang nyata
tanpa mengurangi pengaruh emosional.
5) Identifakasi/ kaji ulang
bersama klien / keluarga tindakan pengaman yang ada seperti kekuatan dan suplai
oksigen, kelengkapan suctioa emergency. Diskusikan arti dari bunyi alarm.
R/ membesarkan/menentramkan hati
klien untuk membantu menghilangkan cemas yang tak berguna, mengurangi
konsentrasi yang tidak jelas, dan menyiapkan rencana sebagai respons dalam
keadaan darurat.
6) Cetak reaksi dari
klien/keluarga. Berikan kesempatan untuk mendiskusika perasaannya/konsentrasi
dan harapan masa depan.
R/ Anggota keluarga dengan responnya
pada apa yang terjadi dan kecemasannya dapat di sampaikan kepada klien.
7) Identifikasi kemampuan koping
klien/keluarga sebelumnya dan mengontrol pengguanaannya.
R/ Memfokuskan perhatian pada sendiri
dapat meningkatkan pengertian dalam penggunaan koping.
8) Demonstrasikan/anjurkan klien
untuk melakukan teknik relaksasi seperti mengatur pernapasan, menuntun dalam
berkhayal, relaksasi progresif.
R/ pengaturan situasi yang aktif dapat
mengurangi perasaan yang tak berdaya.
9) Anjurkan aktivitas pengalihan
perhatian sesuai kemampua individu seperti menulis, menonton tv dan keterapilan
R/ sejumlah keterampilan baik secara
sendiri maupun dibantu selama pemasangan ventilator dapat membuat klien merasa
berkualitas dalam hidupnya.
Kolaborasi
Rujuk ke bagian lain guna
penanganan selanjutnya.
R/ mungkin dibutuhkan untuk
membantu jika klien/ keluarga tidak dapat mengurangi cemas atau ketika
klien membutuhkan alat yang lebih canggih.
(
Arif Muttaqin ; 2008 : 288-297 )
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Jadi cedera kepala adalah trauma
mekanik pada kepala terjadi baik secara langsung bersifat terbuka atau
tertutup yang dapat terlihat meliputi trauma kulit kepala, tengkorak dan juga
otak sehingga dapat mengakibatkan gangguan fungsi neurologis, fungsi
fisik, kognitif, psikososial, bersifat temporer atau permanen.
Diagnosa
yang muncul pada pasien cidera kepala antara lain:
a. Resiko tinggi peningkatan
tekanan intrakranial yang berhubungan dengan desak ruang sekunder dari kompresi
korteks serebri dari adanya perdarahan baik bersifat intraserebral hematoma ,
subdural hematoma dan epidural hematoma.
b. Ketidakefektifan pola
pernapasan yang berhubungan dengan depresi pada pusat pernapasan diotak,
kelemahan otot – otot pernapasan, ekspansi paru yang tidak optimal karena
akumulasi udara/cairan, dan perubahan perbandingan O2 dengan CO2, kegagalan ventiltor.
c. Tidak efektif kebersihan jalan
napas yang berhubungan dengan penumpukan sputum peningkatan sekresi sekret,
penurunan batuk sekunder, akibat nyeri dan keletihan, adanya jalan napas buatan
pada trakea, ketidakmampuan batuk/batuk efektif.
d. Perubahan kenyamanan : nyeri
akut yang berhubungan dengan trauma jaringan dan refleks spasme otot sekunder.
e. Cemas/takut yang berhubungan
dengan krisis situasional : ancaman terhadap konsep diri, takut mati,
ketergantungan pada alat bantu, perubahan status kesehatan/ status ekonomi/
fungsi peran, hubungan interpersonal/ penularan
B.
Kritik
dan Saran
Alhamdulillah makalah ini dapat
terselesaikan dengan baik tanpa ada hambatan yang berarti. Penulis menyadari
bahwa makalah ini masih terdapat banyak kekurangan. Maka penulis sangat
mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari para pembaca demi
kesempurnaan makalah ini. Hanya kepada Allah penulis berharap semoga makalah
ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.
Saran yang disampaikan kepada Mahasiswa
Keperawatan adalah :
1.
Dapat menerapkan asuhan keperawatan pada klien dengan cedera
kepala.
2.
Dapat menilai batasan GCS.
3.
Lebih teliti dalam memberikan intervensi keperawatan kepada
klien dengan cedera kepala.
4.
Dapat memberikan pendidikan kesehatan terhadap keluarga
maupun klien, baik di rumah sakit maupun di rumah.
DAFTAR
PUSTAKA
Doenges, Marilynn E.1999.Rencana
Asuhan Keperawatan ed-3. Jakarta : EGC
Muttaqin,
Arif.2008.Buku Ajar asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan sistem persarafan.
Jakarta : Salemba Medika
Smeltzer,
Suzanne C.2010. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Vol 3 ed-8. Jakarta : EGC
http://asuhan-keperawatan-yuli.blogspot.com/2009/11/laporan-pendahuluan-cedera-kepala.html