BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Diabetes Melitus
Diabetes Melitus adalah penyakit
dengan gangguan metabolisme yang secara genetik dan klinis termasuk heterogen
dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi kabohidrat yang ditandai oleh
kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia (Price & Wilson,
2006). DM diklasifikasikan menjadi tipe I (Insulin Dependent Diabetes Melitus / IDDM), tipe 2 (Non
Insulin Dependent Diabetes Melitus / NIDDM), DM yang berhubungan dengan
keadaan atau sindrom lainnya, dan gestasional diabetes mellitus (Smeltzer &
Bare, 2002).
Price dan Wilson (2006) menyebutkan sebagian besar patologi diabetes
melitus dapat dikaitkan dengan satu dari tiga efek utama kekurangan insulin
yaitu pertama, pengurangan penggunaan glukosa oleh sel-sel tubuh dengan akibat
peningkatan konsentrasi glukosa darah setinggi 300 sampai 1200 mg/hari/100 ml.
Kedua, peningkatan mobilisasi lemak dari daerah-daerah penyimpanan lemak yang
menyebabkan kelainan metabolisme lemak maupun pengendapan lipid pada dinding
vaskuler yang mengakibatkan aterosklerosis. Ketiga, pengurangan protein dalam
jaringan tubuh. Bila jumlah glukosa yang masuk tubulus ginjal dan filtrasi
glomerulus meningkat kira-kira diatas 225 mg/menit glukosa dalam jumlah
bermakna mulai dibuang ke dalam urine. Keadaan ini dinamakan osmotic diuresis yang mana gula banyak
menarik cairan dan elektrolit sehingga mengalami peningkatan berkemih (poliuri)
dan rasa haus (polidipsi) sebagai kompensasi tubuh untuk mengimbangi pembakaran
dan kehilangan cairan berlebih karena poliuri. Pasien dapat mengalami
peningkatan selera makan (polipagi) disebabkan oleh defisiensi atau tidak
adanya insulin sehingga glukosa tidak sampai ke sel dan sel-sel mengalami starvasi (Smeltzer & Bare, 2002).
Smeltzer dan Bare (2002) menyebutkan bahwa komplikasi diabetes melitus terbagi menjadi 2 yaitu komplikasi
akut dan komplikasi kronik. Komplikasi akut dari DM meliputi diabetik ketoasedosis (DKA), Koma Hiperosmolar Nonketotik (KHHN), dan
hipoglikemia. Sedangkan komplikasi kronik DM secara umum dibagi menjadi 2 yaitu
mikrovaskuler dan makrovaskuler. Komplikasi kronik mikrovaskuler antara lain,
penyakit ginjal, penyakit mata (Katarak), dan neuropati. Untuk komplikasi
kronik makrovaskuler meliputi penyakit jantung koroner, gangguan pembuluh darah
kaki, dan masalah pembuluh darah otak.
B. Kaki Diabetik
Waspadji (2006) mengatakan bahwa kaki diabetik adalah kelainan pada tungkai
bawah yang merupakan komplikasi kronik diabetes melitus, suatu penyakit pada
penderita diabetes bagian kaki dengan tanda dan gejala sering kesemutan (asimptomatis), jarak tampak menjadi lebih
pendek (klaudilasio intermil), nyeri saat istirahat, dan kerusakan jaringan (nekrosis,
ulkus).
Misnadiarly (2006) mengungkapkan bahwa terjadinya kaki diabetik disebabkan
oleh adanya kelainan pembuluh darah, kelainan saraf (neuropati) dan adanya infeksi.
Kelainan saraf dapat mengenai saraf otonom, motorik dan sensori, sedangkan
kelainan pembuluh darah sangat berpengaruh terhadap proses penyembuhan luka. Bila
mengenai saraf sensori maka, ditandai dengan perasaan baal atau kebal (parestesia),
kurang berasa (hipestesia), terutama ujung ibu jari kaki terhadap rasa panas,
dingin dan sakit, kadang disertai pegal dan nyeri di kaki (Tambunan, 2007). Bila
mengenai saraf motorik (serabut saraf yang menuju otot) maka otot akan menjadi
kecil, akibatnya akan terjadi ketidakseimbangan pada otot kaki yang akan
meyebabkan perubahan bentuk kaki (deformitas), seperti jari menekuk atau
bergesernya sendi. Bila mengenai saraf otonom penderita akan merasa sulit
berkeringat dan kulit menjadi kering, kulit kering sangat beresiko menjadi
luka. Gangguan pembuluh darah akan menyebabkan darah tidak mengalir dengan
lancar sehingga pasokan makanan dan oksigen akan sulit mencapai organ tubuh
terutama yang letaknya jauh dari jantung seperti jari kaki, sehingga pada saat
luka akan mempersulit proses penyembuhan luka (Waspadji, 2006).
Fryberg (1991) dalam Waspadji (2006) menggolongkan kaki diabetes
berdasarkan risiko terjadinya masalah yaitu sensasi normal tanpa deformitas,
sensasi normal dengan deformitas atau tekanan plantar tinggi, insensitivitas
tanpa deformitas, iskemia tanpa deformitas, dan kombinasi insensitivitas,
iskemia dan/atau deformitas, riwayat adanya tukak, deformitas charcot.
Perawatan kaki diabetik menurut Sutedjo (2010) adalah dengan cara memeriksa
kaki setiap hari (telapak kaki, sela-sela jari kaki, periksa apakah ada
kemerahan, lecet, kulit kering, penebalan kulit), hindari kaki kontak langsung
dengan benda-benda tajam atau air panas, gunakan alas kaki lembut dan lunak,
gunakan pelembab/lotion/minyak untuk menjaga kelembaban kulit, bila menggunting
kuku jangan terlalu pendek/terlalu miring, kontrol gula darah dan lakukan senam
kaki secara teratur.
Senam adalah suatu latihan tubuh yang dipilih dan dikonstruksi dengan
sengaja, dilakukan secara sadar dan terencana, disusun secara sistematis
dengan tujuan meningkatkan kesegaran jasmani, mengembangkan keterampilan, dan
menanamkan nilai-nilai mental spiritual (Nenggala, 2007). Senam kaki diabetes
adalah kegiatan atau latihan yang dilakukan oleh pasien diabetes melitus untuk
mencegah terjadinya luka dan membantu melancarkan sirkulasi darah di bagian
kaki (Misnadiarly, 2006). Menurut Nasution (2009) bahwa senam kaki dapat
membantu memperbaiki sirkulasi darah, memperkuat otot-otot kecil kaki, mencegah
terjadinya kelainan bentuk kaki, meningkatkan otot betis, otot paha, dan juga
mengatasi keterbatasan pergerakan sendi.
Menurut Misnadiarly (2006) senam kaki diabetik dapat diberikan kepada
pasien diabetes melitus tipe 1 maupun tipe 2. Namun, sebaiknya diberikan sejak
pasien didiagnosa menderita diabetes melitus sebagai tindakan pencegahan dini.
Kontraindikasi senam kaki yaitu pada pasien yang mengalami perubahan fungsi
fisiologis sperti dipsnea atau nyeri dada. Hal-hal yang perlu diperhatikan
sebelum melakukan senam kaki diabetik adalah lihat keadaan umum pasien, cek
tanda-tanda vital, cek status respiratori (adakah dipsnea/nyeri dada), kaji
status emosi klien (suasana hati atau mood dan motivasi).
Prosedur pelaksanaan senam kaki menurut Misnadiarly (2006) adalah sebagai berikut :
1. Cuci tangan.
2. Jika dilakukan dalam posisi duduk maka
posisikan pasien duduk tegak di atas kursi dengan kaki tidak menyentuh lantai
(kaki mengambang).
3. Dengan meletakkan tumit dilantai,
jari-jari kedua belah kaki diluruskan ke atas lalu dibengkokan kembali ke bawah
seperti cakar ayam sebanyak 10 kali.
4. Dengan meletakkan tumit salah satu kaki di
lantai, angkat telapak kaki ke atas. Pada kaki lainnya, jari-jari kaki
diletakkan di lantai dengan tumit kaki di angkat ke atas. Cara ini dilakukan
bersamaan pada kaki kiri dan kanan secara bergantian selama 10 kali.
5. Tumit kaki diletakkan di lantai bagian
ujung diangkat ke atas dan buat gerakan memutar dengan pergerakan pada
pergelangan kaki sebanyak 10 kali.
6. Jari-jari kaki diletakkan, dilantai tumit
diangkat dan buat gerakan memutar dengan pergerakan pada pergelangan kaki
sebanyak 10 kali.
7. Angkat salah satu lutut kaki dan luruskan.
Gerakkan jari-jari kedepan turunkan kembali secara bergantian kekiri dan
kekanan sebanyak 10 kali.
8. Luruskan salah satu kaki diatas lantai
kemudian angkat kaki tersebut dan gerakan ujung jari kaki kearah wajah lalu
turunkan kembali ke lantai.
9. Angkat kedua kaki lalu luruskan. Ulangi
langkah ke 8, namun gunakan kedua kaki secara bersamaan. Ulangi sebanyak 10
kali.
10. Angkat kedua kaki dan luruskan, pertahankan
posisi tersebut. Gerakkan pergelangan kaki kedepan dan kebelakang.
11. Luruskan salah satu kaki dan angkat, putar
kaki pada pergelangan kaki, tuliskan pada udara dengan kaki dari angka 0-9
lakukan secara bergantian (yang bergerak bagian paha).
12. Letakkan sehelai koran dilantai, bentuk
kertas itu menjadi seperti bola dengan kedua belah kaki. Kemudian, buka bola
itu menjadi lembaran seperti semula menggunakan kedua belah kaki. Cara ini
dilakukan hanya sekali.
13. Lalu robek koran menjadi 2 bagian,
pisahkan kedua bagian koran.
14. Sebagian koran disobek-sobek menjadi
kecil-kecil dengan kedua kaki.
15. Pindahkan kumpulan sobekan-sobekan
tersebut dengan kedua kaki, lalu letakkan sobekan kertas pada bagian kertas
yang utuh, bungkus semuanya dengan kedua kaki menjadi bentuk bola.
C. Sensitivitas Kaki Pada Diabetes Melitus
Sensitivitas adalah kemampuan organisme untuk merespon obat atau agen lain
(Kamuskesehatan.com). Neuropati akan menghambat signal, rangsangan atau
terputusnya komunikasi dalam tubuh yang menyebabkan insensitivitas atau
hilangnya kemampuan untuk merasakan (Tambunan, 2007). Subekti (2006) mengatakan
bahwa proses terjadinya neuropati diabetik berawal dari hiperglikemia yang
tidak terkontrol dan aktivasi polyol
(alkohol yang mempunyai 2 gugus hidroksil). Hiperglikemia menyebabkan
penumpukan kadar glukosa pada sel dan jaringan tertentu serta dapat
menstranport glukosa tanpa insulin. Glukosa yang berlebihan ini tidak akan
termetabolisasi secara normal melalui glikolisis namun sebagian atau sisanya
akan dikonversi ke sorbitol dengan perantara enzim aldose reduktase selanjutnya
oleh sorbitol dehidrogenase dimetabolisme menjadi fruktosa dan berakumulasi
pada sel saraf. Akumulasi intraseluler ini menyebabkan depresi mioinositol (isomer dari inositol,
yaitu suatu alkohol gula siklik) dan selanjutnya menyebabkan perubahan
metabolisme phospoinositide.
Perubahan ini dapat menggangu aktifitas ATP sodium potasium dan akhirnya menyebabkan perubahan konduksi
impuls saraf. Disfungsi saraf ini menyebabkan degenerasi axon, perubahan
mekanisme transport axon, pembengkakan paranodal, demielinasi segmental,
glikosilasi nonenzimatik neuron, jaringan mikrovaskuler, dan mekanisme iskemik
baik itu saraf sensorik, motorik maupun otonom. Saraf
sensori melibatkan serabut saraf kecil untuk merasakan nyeri dan sensasi suhu,
sedangkan serabut saraf besar digunakan dalam manajemen ambang reduksi persepsi
vibrasi dan sensasi sentuhan (Smeltzer & Bare, 2002).
Pengukuran sensitivitas dilakukan dengan cara membandingkan hasil
pengukuran sensitivitas antara yang menggunakan jarum, karet dan kapas
(Priyanto, 2012). Kriteria sensitivitas pada ujung telapak kaki menurut Suriadi
(2004) dalam Priyanto (2012) adalah nilai 0 tidak ada sensitivitas, nilai 1
sensitivitas kurang, nilai 2 sensitivitas sedang dan nilai 3 sensitivitas baik
atau normal. Prosedur penilaian sensitivitas menurut Suriadi (2004) adalah
sebagai berikut :
1. Berikan responden posisi yang rilek dan
tenang.
2. Sampaikan pada responden supaya mata untuk
melihat keatas atau menutup mata sehingga tidak melihat daerah yang dilakukan
penilaian.
3. Lakukan pengetesan untuk meyakinkan
responden tidak melihat daerah yang akan diperiksa dengan cara apakah ujung
jari kaki merasakan ada sensasi rangsang, padahal tidak diberikan sensasi sentuhan.
4. Mulailah menggoreskan kapas pada ujung
jari kaki, amati respon daerah yang diperiksa.
5. Lanjutkan pemeriksaan dengan karet (reflek
hammer) apabila langkah nomor 4 terlihat tidak ada respon.
6. Lanjutkan pemeriksaan dengan jarum
(lancet) apabila langkah nomor 5 terlihat tidak ada respon.
7. Jelaskan pada responden bahwa pemeriksaan
telah selesai dilakukan.
8. Berikan posisi yang nyaman pada responden.
D.
Hubungan
Senam Kaki Diabetik Dengan Sensitivitas Kaki
Menurut Misnadiarly (2006) neuropati diabetik timbul akibat kondisi
hiperglikemia yang berkepanjangan yang berakibat terhadap terganggunya
sirkulasi darah yang kemudian dapat menghancurkan serat saraf dan satu lapisan
lemak disekitar saraf. Saraf yang rusak tidak bisa mengirimkan sinyal ke otak
dan dari otak dengan baik, akibatnya bisa kehilangan indra perasa. Kerusakan
pada saraf perifer lebih sering terjadi. Kerusakan dimulai dari jempol kaki
serta berlanjut hingga telapak kaki dan seluruh kaki yang menimbulkan baal,
parestesia. Efek fisiologis senam kaki diabetik yang dilakukan secara rutin
akan mencapai efek mekanis dan reflek yang terjadi simultan. Efek mekanis
langsung terjadi dari otot atau jaringan yang dengan sengaja dilakukan senam
kaki diabetik yaitu menstimulasi sirkulasi darah, otot menjadi lebih lembut dan
fleksibel. Lancarnya peredaran darah, memungkinkan darah mengantar lebih banyak
oksigen dan nutrisi ke sel-sel saraf. Senam kaki diabetik yang dilakukan pada
telapak kaki terutama diarea organ yang bermasalah, akan memberikan rangsangan
pada titik-titik saraf yang berhubungan dengan pankreas agar menjadi aktif
sehingga menghasilkan insulin melalui titik-titik saraf yang berada di telapak
kaki. Sehingga dengan adanya peningkatan sirkulasi darah perifer, dapat
meminimalkan kerusakan saraf perifer sehingga neuropati dapat menurun (Mangoenprasodjio
& Hidayati, 2005).
Menurut Nasution (2010) dalam penelitiannya “Pengaruh Senam Kaki Terhadap
Peningkatan Sirkulasi Darah Kaki Pada Pasien Diabetes Mellitus di RSUD Haji
Adam Malik“. Berdasarkan hasil analisis data diketahui bahwa ada perbedaan
sirkulasi darah sebelum dan sesudah dilakukan senam kaki.
Penelitian lain adalah penelitian Sihombing (2012) tentang “Gambaran Perawatan
Kaki dan Sensasi Sensorik Kaki Pada Pasien Diabetes Melitus tipe 2 di Poliklinik
DM RSUD”. Hasil penelitian ini yaitu kelompok yang tidak melakukan perawatan
kaki 13 kali lebih besar risiko terjadinya ulkus diabetik dibandingkan kelompok
yang melakukan perawatan kaki secara teratur.
Menurut Eko Endriyanto (2012) dalam penelitiannya ”Efektifitas Senam Kaki Diabetes
Melitus Dengan Koran Terhadap Tingkat Sensitivitas Kaki Pada Pasien DM tipe 2”.
Setelah diberikan perlakuan senam kaki DM dengan koran selama 7 hari
berturut-turut, pada kelompok eksperimen terjadi peningkatan rata-rata
sensitivitas sebesar 4.85, sedangkan pada kelompok kontrol tetap yaitu sebesar
3.56. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya peningkatan sensitivitas kaki
yang signifikan pada kelompok eksperimen setelah diberikan perlakuan dengan hasil
uji statistik p< 0.05. Dapat disimpulkan bahwa melakukan senam kaki diabetes
melitus dengan koran dapat meningkatkan sensitivitas kaki pada pasien DM tipe 2.
E.
Kerangka Teori Penelitian
Berdasarkan uraian teori diatas, sebagai pendukung utama
dalam penelitian ini maka peneliti mencoba meresume teori-teori tersebut dalam
bentuk skema kerangka teori sebagai berikut :
Gambar 2.1 Kerangka Teori Sensitivitas
Kaki
(Smeltzer & Bare, 2002; Misnadiarly,
2006; Waspadji, 2006)
Terima kasih kak ...
BalasHapusartikelnya menarik....
ternyata dengan melakukan senam kaki bisa membantu dalam penyembuhan diabet...
kalau memakai kaos kaki muslimah itu apakah bisa membantu juga...
mohon pencerahnnya...
Salam kenal...
BalasHapusInfonya membantu sekali ...dan untuk melakukan senam diabetik ini, apaka disarankan memakai kaos kaki wanita juga ..atau malah tidak boleh..
terima kasih ya
hallo pa, mau bertanya apakah ada daftar pustakanya yang priyanto 2012, dan suriadai 2004? boleh tau apa judulnya? soalnya saya mau mencari bukunya untuk membuat KTI, terimakasih
BalasHapus