Senin, 29 Juli 2013

Askep Cidera Kepala

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar belakang masalah
Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara langsung yang kemudian dapat berakibat kepada gangguan fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, bersifat temporer atau permanen (www.yayanakhyar.com.nr/200905).         
Setiap tahun di Amerika Serikat, mencatat 1,7 juta kasus trauma kepala 52.000 pasien meninggal dan selebihnya dirawat inap. Trauma kepala juga merupakan penyebab kematian ketiga dari semua jenis trauma dikaitkan dengan kematin. Menurut Penelitian yang dilakukan olehNatroma Trauma Project di Islamic Republik of Iran bahwa, diantara semua jenis trauma tertinggi yang dilaporkan yaitu sebanyak 78,7 % trauma kepala dan kematian paling banyak juga disebabkan oleh trauma kepala (Karbakhsh, zand, Rouzrokh, Zarei, 2009). Rata – rata rawat inap pada laki – laki dan wanita akibat terjatuh dengan diagnosa trauma kepala sebanyak 146,3 per 100.000 dan 158,3 per 100.000  (Thomas 2006). Angka kematian trauma kepala akibat terjatuh lebih tinggi pada laki – laki  dibanding perempuan yaitu sebanyak 26,9 per 100.000 dan 1,8 per 100.000. Bagi lansia pada usia 65 tahun keatas, kematian akibat trauma kepala mencatat 16.000 kematian dari 1,8 juta lansia di Amerika yang mengalami trauma kepala akibat terjatuh. Menurut Kraus (1993), dalam penelitiannya ditemukan bahwa anak remaja hingga dewasa muda mengalami cedera kepala akibat terlibat dalam kecelakaan lalu lintas dan akibat kekerasan sedangkan orang yang lebih tua cenderung mengalami trauma kepala disebabkan oleh terjatuh.Menurut data yang diperolah dari rekam medik RSUD Atambua, pada tiga tahun terakhir ini yaitu : tahun 2008 terdiri dari 142 orang, laki –laki : 107 orang ( 75,3 %), perempuan : 42 orang (29,5 %), Tahun 2009 : 163 orang, laki – laki : 140 orang (85,8 %), perempuan : 23 orang (13,6 %), Tahun 2010 : 175 orang, laki – laki : 149 orang (85,1 %), perempuan : 26 orang ( 14,8 %).
Indonesia sebagai negara berkembang ikut merasakan kemajuan teknologi, diantaranya bidang transportasi. Dengan majunya transportasi,  mobilitas penduduk pun ikut meningkat. Namun akibat kemajuan ini, juga berdampak negatif yaitu semakin tingginya angka kecelakaan lalu lintas karena ketidak hati – hatian dalam berkendaraan. Sehingga dapat mengakibatkan berbagai cedera.  Salah satu cedera yang sering terjadi pada saat kecelakan lalu lintas adalah cedera    kepala (http://repository.usu.ac.id/ bitstream/  12345678 /16495/5.chapter%201.pdf)
Cedera kepala menduduki tingkat morbiditas dan mortalitas tertinggi, oleh karena itu diperlukan pemahaman dan pengelolaan yang lebih baik terutama tentang penanganan (A, B, C, D, E), pencegahan cedera otak sekunder dan cara merujuk penderita secepat mungkin oleh untuk petugas kesehatan yang berada digaris depan.

B.     Tujuan Penulisan
1.      Mahasiswa mampu melaksanakan pengkajian pada pasien cedera kepala.
2.      Mahasiswa mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada pasien dengan cedera kepala.
3.      Mahasiswa mampu membuat rencana tindakan keperawatan pada pasien dengan cedera kepala.
4.      Mahasiswa mampu melaksanakan rencana tindakan keperawatan pada pasien dengan cedera kepala.
5.      Mahasiswa mampu melakukan evaluasi terhadap tindakan keperawatan yang telah dilakukan.
6.      Mahasiswa mampu melakukan dokumentasi terhadap tindakan keperawatan yang telah dilakukan.















BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.    Anatomi Fisiologi Otak
Otak dilindungi dari cedera oleh rambut, kulit dan tulang yang membungkusnya. Tanpa perlindungan ini otak yang lembut, yang membuat kita seperti adanya, akan mudah sekali terkena cedera dan mengalami kerusakan. Cedera kepala dapat mengakibatkan malapetaka besar bagi seseorang. Pada orang dewasa tengkorak merupakan ruangan keras yang tidak memungkinkan perluasan isi intrakranial. Tulang sebenarnya terdiri dari 2 dinding atau tabula yang dipisahkan oleh tulang berongga.
Dinding luar disebut tabula eksternal dan dinding bagian dalam disebut tabula internal. Pelindung lain yang melapisi otak adalah meninges. Ketiga lapisan meninges adalah durameter, araknoid dan piameter (Price, Silvia A ; 2005 : 1014).
Sistem persarafan terdiri dari:
a.    Susunan saraf pusat
      1)    Otak
             (a)  Otak besar atau serebrum (cerebrum)
Mempunyai dua belahan yaitu hemisfer kiri dan hemisfer kanan yang duhubungkan oleh massa substansi alba(substansia alba) yang disebut korpus kalosum (corpus callosum). Serebrum terdiri atas : korteks sereri, basal ganglia (korpora striate) dan sistem limbik(rhinencephalon).
             (bOtak kecil (serebelum)
Serebelum (otak kecil) terletak dalam fossa kranial posterior, dibawah tentorium serebelum bagian posterior dari pons varolii dan medula oblongata. Serebelum mempunyai dua hemisfer yang dihubungkan oleh vermis. serebelum dihubungkan dengan otak tengah oleh pedunkulus serebri superior, dengan pons paroli oleh pedunkulus serebri media dan dengan medula oblongata oleh pedunkulus serebri inferior. Lapisan permukaan setiap hemisfer serebri disebut korteks yang disusun oleh substansia grisea. Lapisan – lapisan korteks serebri ini dipisahkan oleh fisura transversus yang tersusun rapat. Kelompok massa substansia grisea tertentu pada serebelum tertanam dalam substansia alba yang paling besar dikenal sebagai nukleus dentatus.
             (c) Batang otak.
Pada permukaan batang otak terdapat medula oblongata, pons varolii, mesensefalon dan diensefalon. Talamus dan epitalamus terlihat dipermukaan posterior batang otak yang terletak diantara serabut capsula interna. Disepanjang pinggir dorsomedial talamus terdapat sekelompok serabut saraf berjalan keposterior basis epifise.
      2)    Sum-sum tulang belakang (trunkus serebri)
Medula spinalis merupakan bagian sistem saraf pusat yang  menggambarkan perubahan terakhir pada perkembangan embrio. Semula ruangannya besar kemudian mengecil menjadi kanalis sentralis. Medulla spinalis terdiri atas dua belahan yang sama dipersatukan oleh struktur intermedia yang dibentuk oleh sel saraf dan didukung oleh jaringan interstisial.
Medula spinalis membentang dari foramen magnum sampai setinggi vertebra lumbalis I dan II, ujung bawahnya runcing menyerupai kerucut yang disebut konus medularis, terletak didalam kanalis vertebralis melanjut sebagai benang-benang(filum terminale) dan akhirnya melekat pada vertebra III sampai vertebra torakalis II, medula spinalis menebal kesamping. penebalan ini dinamakan intumensensia servikalis.
b.    Susunan saraf perifer
      1)    Susunan saraf somatik
Indra somatik merupakan saraf yang mengumpulkan informasi sensori dari tubuh. Indra ini berbeda dengan indra khusus (penglihatan, penghiduan, pendengaran, pengecapan dan keseimbangan), indra somatik digolongkan menjadi 3 jenis :
            (a).Indra somatik mekano reseptif.
            (b).Indra termoreseptor.
            (c).Indra nyeri.
     2)    Susunan saraf otonom
Saraf yang mempersarafi alat – alat dalam tubuh seperti kelenjar, pembuluh darah, paru – paru, lambung, usus dan ginjal. Alat ini mendapat dua jenis persarafan otonom yang fungsinya saling bertentangan, kalau yang satu merangsang yang lainnya menghambat dan sebaliknya, kedua susunan saraf ini disebut saraf simpatis dan saraf parasimpatis.
                                                                  (syaifuddin ; 2009 : 335 – 360). 
B.     Cedera Kepala
1.      Pengertian
Cedera kepala : Meliputi trauma kepala, tengkorak dan otak. secara anatomis otak dilindungi dari cedera oleh rambut, kulit kepala serta tulang dan tentorium (helm) yang membungkusnya (Arif Muttaqin ; 2008 : 270).
Cedera kepala : Dapat bersifat terbuka (menembus melalui dura meter)  atau  tertutup (trauma tumpul, tanpa penetrasi melalui dura). Cedera  kepala terbuka memungkinkan patogen lingkungan memiliki akses langsung ke otak (Corwin J.Elizabeth; 2005 : 175).
Jadi cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala  terjadi baik secara langsung bersifat terbuka atau tertutup yang dapat terlihat meliputi trauma kulit kepala, tengkorak dan juga otak sehingga dapat mengakibatkan gangguan  fungsi  neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, bersifat temporer atau permanen. 
2.      Klasifikasi
Cedera kepala dapat diklasifikasikan berdasarkan mekanisme, keparahan dan morfologi cedera:
  1)    Mekanisme:
 (a).  Cedera kepala tumpul, dapat disebabkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh atau pukulan benda tumpul.
 (b).  Cedera kepala tembus (penetrasi), disebabkan luka tembak atau pukulan benda tumpul.
   2)    Berdasarkan beratnya:
a.       Cedera kepala ringan ( CKR ) Jika GCS antara 13-15 , dpt terjadi kehilangan kesadaran kurang dari 30 menit, tetapi ada yang menyebut kurang dari 2 jam, jika ada penyerta seperti fraktur tengkorak , kontusio atau temotom (sekitar 55% ).
b.      Cedera kepala kepala sedang ( CKS ) jika GCS antara 9-12, hilang kesadaran atau amnesia antara 30 menit -24 jam, dapat mengalami fraktur tengkorak, disorientasi ringan ( bingung ).
c.       Cedera kepala berat ( CKB ) jika GCS 3-8, hilang kesadaran lebih dari 24 jam, juga meliputi contusio cerebral, laserasi atau adanya hematoma.
   3)    Berdasarkan morfologi:
           (1)  Fraktur tengkorak
     (a).Kalvaria: Linear atau stelata, Depressed ataunondepressed, Terbuka   atau tertutup
     (b).Dasar tengkorak: Dengan atau tanpa kebocoran CNS, Dengan atau tanpa paresis/kelumpuhan nervus VII (fasial)
            (2)  Lesi intrakranial
                  (a).Fokal: Epidural, Subdural, intraserebral
        (b).Difusa: Komosio ringan, Komosio klasik, Cedera aksonal difusa( http://www.yayanakhyar.co.nr/2009)

4)    Skala Coma Glasgow (GCS)
      Tabel I.Skala Coma Glasgow
Buka mata (E)
Respon verbal (V)
Respon motorik (M)
1 Tidak ada reaksi

2 Dengan  rang
   sang nyeri

3 Terhadap suara

4 Spontan



1 Tidak ada jawaban

2 Mengerang


3 Tidak tepat

4 Kacau/confused

5 Baik,tidak ada dis
   orientasi

1 Tidak ada reaksi

2 Reaksi ekstensi(deserebrasi)


3 Reaksi fleksi(dekortikasi)

4 Reaksi menghindar

5 Melokalisir nyeri

6 Menurut perintah
(Sumber:dr George Dewanto,Sp.s,dkk.Panduan Praktis:Diagnosis & Tatalaksana Penyakit Saraf)
Klasifikasi yang mendekati keadaan klinis adalah berdasarkan nilai GCS yang dikeluarkan oleh The Traumatic Coma Data Bank (Hudak dan Gallo ; 1996 : 59, dikutip oleh cholik Harun Risjidi)

Tabel 2. Kategori penentuan keparahan cedera  kepala berdasarkan nilai skala Koma Glasgow
Penentuan keparahan
Deskripsi
Frekuensi


Minor/ringan

GCS:13-15
Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30 menit
Tidak ada fraktur tengkorak,tidak ada kontusio serebral,tidak ada hematom


55 %



Sedang



GCS:9-12
Kehilangan kesadaran dan/atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam
Dapat mengalami fraktur tengkorak


     24 %



Berat


GCS:3-8
Kehilangan kesadaran dan /atau amnesia lebih dari 24 jam,juga meliputi kontusio serebral,laserasi,
atau hematom intrakranial



21 %
(Sumber:Cholik Harun Rosjidi,cs(Buku Ajar Perawatan Cedera Kepala & Stroke)

3.      Etiologi
Cidera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas ( Mansjoer, 2000:3).
Penyebab cidera kepala antara lain: kecelakaan lalu lintas, perkelahian, terjatuh, dan cidera olah raga. Cidera kepala terbuka sering disebabkan oleh peluru atau pisau (Corkrin, 2001:175).

4.      Manifestasi Klinis
Berdasarkan nilai GCS (Glasgow Coma Scale)
1.      Cidera kepala Ringan (CKR)
a.       GCS 13-15
b.      Kehilangan kesadaran/amnesia <30 menit
c.       Tidak ada fraktur tengkorak
d.      Tidak ada kontusio celebral, hematoma
2.      Cidera Kepala Sedang (CKS)
a.       GCS 9-12
b.      Kehilangan kesadaran dan atau amnesia >30 menit tetapi kurang dari 24 jam
c.       Dapat mengalami fraktur tengkorak
3.      Cidera Kepala Berat (CKB)
a.       GCS 3-8
b.      Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia > 24 jam
c.       Juga meliputi kontusio celebral, laserasi, atau hematoma intracranial (Hudak dan Gallo, 1996:226)
Manifestasi klinis yang timbul dapat berupa ganguan kesadaran, konfusi, abnormalitas pupil, serangan (onset) tiba-tiba berupa deposit neorologis, perubahan tanda vital, ganguan penglihatan, disfungsi sensorik, kejang otot, sakit kepala, vertigo(pusing), ganguan pergerakan, kejang, dan syok akibat cidera multi system.

5.      Patofisiologi
Patofisiologis dari cedera kepala traumatic dibagi dalam proses primer dan proses sekunder. Kerusakan yang terjadi dianggap karena gaya fisika yang berkaitan dengan suatu trauma yang relative baru terjadi dan bersifat irreversible untuk sebagian besar daerah otak. Walaupun kontusio dan laserasi yang terjadi pada permukaan otak, terutama pada kutub temporal dan permukaan orbital dari lobus frontalis, memberikan tanda-tanda jelas tetapi selama lebih dari 30 tahun telah dianggap jejas akson difus pada substasi alba subkortex adalah penyebab utama kehilangan kesadaran berkepanjangan, gangguan respon motorik dan pemulihan yang tidak komplit yang merupakan penanda pasien yang menderita cedera kepala traumatik berat.
Proses primer timbul langsung pada saat trauma terjadi. Cedera primer biasanya fokal (perdarahan, konusi) dan difus (jejas akson difus).Proses ini adalah kerusakan otak tahap awal yang diakibatkan oleh benturan mekanik pada kepala, derajat kerusakan tergantung pada kuat dan arah benturan, kondisi kepala yang bergerak diam, percepatan dan perlambatan gerak kepala. Proses primer menyebabkan fraktur tengkorak, perdarahan segera intrakranial, robekan regangan serabu saraf dan kematian langsung pada daerah yang terkena.
Kerusakan sekunder timbul beberapa waktu setelah trauma menyusul kerusakan primer. Dapat dibagi menjadi penyebab sistemik dari intrakranial. Dari berbagai gangguan sistemik, hipoksia dan hipotensi merupakan gangguan yang paling berarti. Hipotensi menurunnya tekanan perfusi otak sehingga mengakibatkan terjadinya iskemi dan infark otak. Perluasan kerusakan jaringan otak sekunder disebabkan berbagai faktor seperti kerusakan sawar darah otak, gangguan aliran darah otak metabolisme otak, gangguan hormonal, pengeluaran bahan-bahan neurotrasmiter dan radikal bebas. Trauma saraf proses primer atau sekunder akan menimbulkan gejala-gejala neurologis yang tergantung lokasi kerusakan. Kerusakan sistem saraf motorik yang berpusat dibagian belakang lobus frontalis akan mengakibatkan kelumpuhan pada sisi lain. Gejala-gejala kerusakan lobus-lobus lainnya baru akan ditemui setelah penderita sadar. Pada kerusakan lobus oksipital akan dujumpai ganguan sensibilitas kulit pada sisi yang berlawanan. Pada lobus frontalis mengakibatkan timbulnya seperti dijumpai pada epilepsi lobus temporalis.
Kelainan metabolisme yang dijumpai pada penderita cedera kepala disebabkan adanya kerusakan di daerah hipotalamus. Kerusakan dibagian depan hipotalamus akan terjadi hepertermi. Lesi di regio optika berakibat timbulnya edema paru karena kontraksi sistem vena. Retensi air, natrium dan klor yang terjadi pada hari pertama setelah trauma tampaknya disebabkan oleh terlepasnya hormon ADH dari daerah belakang hipotalamus yang berhubungan dengan hipofisis. Setelah kurang lebih 5 hari natrium dan klor akan dikeluarkan melalui urine dalam jumlah berlebihan sehingga keseimbangannya menjadi negatif. Hiperglikemi dan glikosuria yang timbul juga disebabkan keadaan perangsangan pusat-pusat yang mempengaruhi metabolisme karbohidrat didalam batang otak.
Batang otak dapat mengalami kerusakan langsung karena benturan atau sekunder akibat fleksi atau torsi akut pada sambungan serviks medulla, karena kerusakan pembuluh darah atau karena penekanan oleh herniasi unkus.
Gejala-gejala yang dapat timbul ialah fleksiditas umum yang terjadi pada lesi tranversal dibawah nukleus nervus statoakustikus, regiditas deserebrasi pada lesi tranversal setinggi nukleus rubber, lengan dan tungkai kaku dalam sikap ekstensi dan kedua lengan kaku dalam fleksi pada siku terjadi bila hubungan batang otak dengan korteks serebri terputus. Gejala-gejala Parkinson timbul pada kerusakan ganglion basal. Kerusakan-kerusakan saraf-saraf kranial dan traktus-traktus panjang menimbulkan gejala neurologis khas. Nafas dangkal tak teratur yang dijumpai pada kerusakan medula oblongata akan menimbulkan timbulnya Asidesil. Nafas yang cepat dan dalam yang terjadi pada gangguan setinggi diensefalon akan mengakibatkan alkalosisi respiratorik.

6.      Pemeriksaan Diagnosis
Pemeriksaan diagnostik yang diperlukan pada klien dengan cedera kepala meliputi :
1.      CT scan (dengan / tanpa kontras)
Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan, ventrikuler, dan perubahan jaringan otak.
2.      MRI
Digunakan sama dengan CT scan  dengan / tanpa kontras radioaktif.
3.      Cerebral Angiography
Menunjukkan anomali sirkulasi serebral seperti perubahan jaringan otak sekunder menjadi edema, perdarahan, dan trauma.
4.      Serial EEG
Dapat melihat perkembangan gelombang patologis.
5.      Sinar-X
Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis (perdarahan / edema), fragmen tulang.
6.      BAER
Mengoreksi batas fungsi korteks dan otak kecil.
7.      PET
Mendeteksi perubahan aktivitas metabolism otak.
8.      CSS
Lumbal pungsi dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid.
9.      Kadar elektrolit
Untuk mengoreksi keseimbangan elektrolit sebagai peningkatan tekanan intracranial.
10.  Screen Toxicology
Untuk mendeteksi pengaruh obat yang dapat menyebabkan penurunan kesadaran.
11.  Rontgen thoraks 2 arah (PA/AP dan lateral)
Rontgen thoraks menyatakan akumulasi udara / cairan pada area pleural.
12.  Toraksentesis menyatakan darah / cairan.
13.  Analisa Gas Darah (AGD / Astrup)
AGD adalah salah satu tes diagnostic untuk menentukan status respirasi. Status respirasi yang dapat digambarkan melalui pemeriksaan AGD ini adalah status oksigenasi dan status asam basa.

7.      Komplikasi
1.      Perdarahan ulang
2.      Kebocoran cairan otak
3.      Infeksi pada luka atau sepsis
4.      Timbulnya edema serebri
5.      Timbulnya edema pulmonum neurogenik, akibat peninggian TIK
6.      Nyeri kepala setelah penderita sadar
7.      Konvulsi

8.      Penatalaksaan Medis
Penatalaksanaan saat awal trauma pada cedera kepala selain dari factor mempertahankan fungsi ABC (airway, breathing, circulation) dan menilai status neurologis (disability, exposure), maka factor yang harus diperhitungkan pula adalah mengurangi iskemia serebri yang terjadi. Keadaan ini dapat dibantu dengan pemberian oksigen dan glukosa sekalipun pada otak yang mengalami trauma relative memerlukan oksigen dan glukosa yang lebih rendah.
Selain itu perlu pula dikontrol kemungkinan tekanan intracranial yang meninggi disebabkan oleh edema serebri. Sekalipun tidak jarang memerlukan tindakan operasi, tetapi usaha untuk menurunkan tekanan intracranial ini dapat dilakukan dengan cara menurunkan PaCO2 dengan hiperventilasi yang mengurangi asidosis intraserebral dan menambah metabolisme intraserebral. Adapun usaha untuk menurunkan PaCO2 ini yakin dengan intubasi endotrakeal, hiperventilasi. Tin membuat intermittent iatrogenic paralisis. Intubasi dilakukan sedini mungkin kepala klien-lkien yang koma untuk mencegah terjadinya PaCO2 yang meninggi. Prinsip ABC dan ventilasi yang teratur dapat mencegah peningkatan tekanan intracranial.
Penatalaksanaan konservatif meliputi :
1.      Bedrest total.
2.      Observasi tanda-tanda vital (GCS dan tingkat kesadaran).
3.       Pemberian obat-obatan
a.       Dexmethason / kalmethason sebagai pengobatan anti-edema serebral, dosis sesuai dengan berat ringannya trauma.
b.      Terapi hiperventilasi (trauma kepala berat), untuk mengurangi vasodilatasi.
c.       Pengobatan anti-edema dengan larutan hipertonis, yaitu manitol 20%, atau glukosa 40%, atau gliserol 10%.
d.      Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (pensilin) atau untuk infeksi anaerob diberikan metronidasol.
4.      Makanan atau cairan. Pada trauma ringan bila muntah-muntah tidak dapat diberikan apa-apa,hanya cairan infuse dextrose 5%, aminofusin, aminofel (18 jam pertama dari terjadinya kecelakaan), 2-3 hari kemudian diberikan makanan lunak.
5.      Pada trauma berat. Karena hai-hari pertama didapat klien mengalami penurunan kesadaran dan cenderung terjadi retensi natrium dan elektrolit maka hari-hari pertama (2-3 hari) tidak terlalu banyak cairan. Dextosa 5% 8 jam pertama, ringer dextrosa 8 jam kedua, dan dextrose 5% 8 jam ketiga, pada hari selanjutnya bila kesadaran rendah maka makanan diberikan melalui nasogastric tube (2500-300 TKTP). Pemberian protein tergantung dari nilai urenitrogennya.

9.      Konsep Asuhan Keperawatan
1.    Pengkajian
Pengumpulan data klien baik subjektif maupun objektif pada gangguan sistem persarafan sehubungan dengan cedera kepala tergantung pada bentuk, lokasi, jenis injuri, dan adanya komplikasi pada organ vital lainnya. Pengkajian keperawatan cedera kepala meliputi anamnesis riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, pemeriksaan diagnostik dan pengkajian psikososial.
a)   Anamnesis
Identitas klien meliputi nama, umur (kebanyakan terjadi pada usia muda), jenis kelamin (banyak laki – laki, karena sering ngebut – ngebutan dengan motor tanpa pengaman helm), pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam masuk rumah sakit, nomor register, diagnosis medis.
Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien untuk meminta pertolongan kesehatan tergantung dari seberapa jauh dampak trauma kepala disertai penurunan tingkat kesadaran.
b)   Riwayat penyakit saat ini
Adanya riwayat trauma yang mengenai kepala akibat dari kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian, dan trauma langsung kekepala. Pengkajian yang didapat meliputi tingkat kesadaran menurun (GCS >15), konvulsi, muntah, takipnea, sakit kepala, wajah simetris atau tidak, lemah, luka dikepala, paralisis, akumulasi sekret pada saluran pernapasan, adanya liquor dari hidung dan telinga, serta kejang.
Adanya penurunan atau perubahan pada tingkat kesadaran dihubungkan dengan perubahan didalam intrakranial. Keluhan perubahan perilaku juga umum terjadi. Sesuai perkembangan penyakit, dapat terjadi letargi, tidak responsif dan koma.
Perlu ditanyakan pada klien atau keluarga yang mengantar klien (bila klien tidak sadar) tentang penggunaan obat – obatan adiktif dan penggunaan alkohol yang sering terjadi pada beberapa klien yang suka ngebut – ngebutan.
c)   Riwayat penyakit dahulu
Pengkajian yang perlu dipertanyakan meliputi adanya riwayat hipertensi, riwayat cedera kepala sebelumnya, diabetes melitus, penyakit jantung, anemia, penggunaan obat – obat       antikoagulan, aspirin, vasodilator, obat – obat adiktif, konsumsi alkohol berlebihan.
d)    Riwayat penyakit keluarga
Mengkaji adanya anggota generasi terdahulu yang menderita hipertensi dan diabetes melitus.
e)   Pengkajian psiko-sosio-spiritual
Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien untuk menilai respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan perubahan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respons atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat. Apakah ada dampak yang timbul pada klien, yaitu timbul seperti ketakutan akan kecacatan, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan citra diri). Adanya perubahan hubungan dan peran karena klien mengalami kesukaran untuk berkomunikasi akibat gangguan bicara. Pola persepsi dan konsep diri didapatkan kllien merasa tidak berdaya, tidak ada harapan, mudah marah, dan tidak kooperatif.
f)     Pemeriksaan fisik
Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhan -keluhan klien, pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukng data dan pengkajian anamnesis. Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan persistem (B1 – B6) dengan fokus pemeriksaan fisik pada pemeriksaan B3 (Brain) dan terarah dan dihubungkan dengan keluhan – keluhan dari klien.
Keadaan umum
Pada keadaaan cedera kepala umumnya mengalami penurunan kesadaran (cedera kepala ringan/cedera otak ringan, GCS 13 – 15, cedera kepala berat/ cedera otak berat, bila GCS kurang atau sama dengan 8 dan terjadi perubahan pada tanda-tanda vital.
(1)  B1 (Breathing)
Perubahan pada sistem pernapasan bergantung pada gradiasi dari perubahan jaringa cerebral akibat trauma kepala. Pada beberapa keadaan, hasil dari pemeriksaaan fisik dari sistem ini akan didapatkan :
(a).Inspeksi
Diddaptakan klien batuk, peningkatan produksi sputum, sesak napas, penggunaan otot bantu napas, dan peningkatan frekuensi pernapasan. Terdapat retraksi klavikula/ dada, pengembangan paru tidak simetris. Ekspansi dada : dinilai penuh/ tidak penuh dan kesimetrisannya. Ketidak simetrisan mungkin menunjukan adanya atelektasis, lesi pada paru, obstruksi pada bronkus, fraktur tulang iga, pnemothoraks, atau penempatan endotrakeal dan tube trakeostomi yang kurang tepat. Pada observasi ekspansi dada juga perlu dinilai : retraksi dari otot – otot interkostal, substernal, pernapan abdomen, dan respirasi paradoks (retraksi abdomen saat inspirasi). Pola napas ini dapat terjadi jika otot – otot interkostal tidak mampu menggerakkan dinding dada.
(b).Palpasi
Fremitus menurun dibandingkan dengan sisi yang lain akan didapatkan apabila melibatkan trauma pada rongga thoraks.
(c).Perkusi
Adanya suara redup sampai pekak pada keadaan melibatkan trauma pada thoraks/ hematothoraks
(d).Auskultasi
Bunyi napas tambahan seperti napas berbunyi, stridor, ronkhi pada klien dengan peningkatan produksi sekret dan kemampuan batuk yang menurun sering didapatkan pada klien cedera kepala dengan penurunan tingkat kesadaran koma. 
(2)  B2 (Blood)
Pengkajian pada sistem kardiovaskuler didapatkan renjatan (syok) hipovolemik yang sering terjadi pada klien cedera kepala sedang dan berat.
Hasil pemeriksaan kardiovaskuler klien cedera kepala pada beberapa keadaan dapat ditemukan tekanan darah normal atau berubah, nadi bradikardi, takikardia da aritmia. Frekuensi nadi cepat dan lemah berhubungan dengan homeostatis tubuh dalam upaya menyeimbangkan kebutuhan oksigen perifer. Nadi bradikardia merupakan tanda dari perubahan perfusi jaringan otak. Kulit kelihatan pucat menandakan adanya penurunan kadar hemaglobin dalam darah. Hipotensi menandakan adanya perubahan perfusi jaringan dan tanda -tanda awal dari suatu syok. Pada beberapa keadaan lain akibat dari trauma kepala akan merangsang pelepasan antidiuretik hormon (ADH) yang berdampak pada kompensasi tubuh untuk mengeluarkan retensi atau pengeluaran garam dan air oleh tubulus. Mekanisme ini akan meningkatkan konsentrasi elektolit meningkat sehingga memberikan resiko terjadinya gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit pada sistem kardiovaskuler.
(3)  B3 (Brain)
Cedera kepala menyebabkan berbagai defisit neurologis terutama disebabkan pengaruh peningkatan tekanan intrakranial akibat adanya perdarahan baik bersifat intraserebral hematoma, subdural hematoma dan epidural hematoma. Pengkajian B3 (Brain) merupakan pemeriksaan fokus dan lebih lengkap dibandingkan pengkajian pada sistem lainnya.
(a).Tingkat kesadaran
Tingkat kesadaran klien dan respon terhadap lingkungan adalah indikator paling sensitif untuk menilai disfungsi sistem persarafan. Pada keadaan lanjut tingkat kesadaran klien cedera kepala biasanya berkisar pada tingkat letargi, stupor, semikomatosa, sampai koma.
(b).Pemeriksan fungsi serebral
Status mental : Observasi penampilan klien dan tingkah lakunya, nilai gaya bicara klien dan observasi ekspresi wajah, dan aktivitas motorik pada klien cedera kepala tahap lanjut biasanya status mental mengalami perubahan.
Fungsi intelektual : Pada keadaan klien cedera kepala didapatkan penurunan dalam ingatan dan memori baik jangka pendek maupun jangka panjang
Lobus frontal : Kerusakan fungsi kognitif dan efek psikologis didapatkan bila trauma kepala mengakibatkan adanya kerusakan pada lobus frontal kapasitas, memori atau fungsi intelektual kortikal yang lebih tinggi mungkin rusak disfungsi ini dapat ditunjukkan dalam lapang perhatian terbatas, kesulitan dalam pemahaman, lupa dan kurang motivasi, yang menyebabkan klien ini menghadapi masalah frustasi dalam program rehabilitasi mereka. Masalah psikologi lain juga umum terjadi dan dimanifestasikan oleh labilitas emosional, bermusuhan, frustasi, dendam  da kurang kerja sama.
Hemisfer : Cedera kepala hemisfer kanan didapatkan hemiparase sebelah kiri tubuh, penilaian buruk, dan mempunyai kerentanan terhadap sisi kolateral sehingga kemungkinan terjatuh kesisi yang berlawanan tersebut. Cedera kepala pada hemisfer kiri, mengalami hemiparase kanan, perilaku lambat dan sangat hati – hati, kelainan bidang pandang sebelah kanan, disfagia global, afasia dan mudah frustrasi
(c).Pemeriksaan saraf kranial
Saraf I
Pada beberapa keadaan cedera kepala didaerah yang merusak anatomis dan fisiologis saraf ini klien akan mengalami kelainan pada fungsi penciuman/anosmia unilateral atau bilateral
Saraf II
Hematoma palpebra pada klien cedera kepala akan menurunkan lapangan penglihatan dan menggangu fungsi dari nervus optikus. Perdarahan diruang intrakranial, terutama hemoragia subarakhnoidal, dapat disertai dengan perdarahan diretina. Anomali pembuluh darah didalam otak dapat bermanifestasi juga difundus. Tetapi dari segala macam kalainan didalam ruang intrakranial, tekanan intrakranial dapat dicerminkan pada fundus
Saraf III, IV da VI
Gangguan mengangkat kelopak mata terutama pada klien dengan trauma yang merusak rongga orbital. pada kasus-kasus trauma kepala dapat dijumpai anisokoria. Gejala ini harus dianggap sebagai tanda serius jika midriasis itu tidak bereaksi pada penyinaran. Tanda awal herniasi tentorium adalah midriasis yang tidak bereaksi pada penyinaran. Paralisis otot – otot  okular akan menyusul pada tahap berikutnya. Jika pada trauma kepala terdapat anisokoria dimana bukannya midriasis yang ditemukan, melainkan miosis yang bergandengan dengan pupil yang normal pada sisi yang lain, maka pupil yang miosislah yang abnormal. Miosis ini disebabkan oleh lesi dilobus frontalis ipsilateralyang mengelola pusat siliospinal. Hilangnya fungsi itu berarti pusat siliospinal menjadi tidak aktif sehingga pupil tidak berdilatasi melainkan berkonstriksi.
Saraf V
Pada beberapa keadaan cedera kepala menyebabkan paralisis nervus trigenimus, didapatkan penurunan kemampuan koordinasi gerakan menguyah
Saraf VII
Persepsi pengecapan mengalami perubahan
Saraf VIII
Perubahan fungsi pendengaran pada klien cedera kepala ringan biasanya tidak didapatkan penurunan apabila trauma yang terjadi tidak melibatkan saraf vestibulokoklearis
Saraf IX dan Xl
Kemampuan menelan kurang baik, kesukaran membuka mulut.
Saraf XI
Bila tidak melibatkan trauma pada leher, mobilitas klien cukup baik dan tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideusdan trapezius.
Saraf XII
Indra pengecapan mengalami perubahan
(d).Sistem motorik
Inspeksi umum : Didapatkan hemiplegia  (paralisis pada salah satu sisi) karena lesi pada sisi otak yang berlawanan. Hemiparesis (kelemahan salah satu sisi tubuh) adalah tanda yang lain.
Tonus otot : Didapatkan menurun sampai hilang.
Kekuatan otot : Pada penilaian dengan menggunakan grade kekuatan otot didapatkan grade O
Keseimbangan dan koordinasi : Didapatkan mengalami gangguan karena hemiparase dan hemiplegia.
(e).Pemeriksaan reflek
Pemeriksaan reflek dalam : Pengetukan pda tendon, ligamentum atau periosteum derajat refleks pada respon normal.
Pemeriksaan refleks patologis ; Pada fase akut refleks fisiologis sisi yag lumpuh akan menghilang. Setelah beberapa hari refleks fisiologis akan muncul kembali didahului dengan refleks patologis.
(f).  Sistem sensorik
Dapat terjadi hemihipestasi persepsi adalah ketidakmampuan untuk menginterpretasikan sensasi.Disfungsi persepsivisual karena gangguan jaras sensorik primer diantara mata dan korteks visual. Gangguan hubungan visual spasial (mendapatkan hubungan dua atau lebih objek dalam area spasial) sering terlihat pada klien dengan hemiplegia kiri.
Kehilangan sensorik karena cedera kepala dapat berupa kerusakan sentuhan ringan atau mungkin lebih berat dengan kehilangan propriosepsi (kemampuan untuk merasakan posisi dan gerakan bagian tubuh) serta kesulitan dalam menginterpretasikan stimulasi visual, taktil dan auditorius.
(4)  B4 (Bladder)
Kaji keadaan urine meliputi warna, jumlah dan karakteristik, termasuk berat jenis. Penurunan jumlah urine dan peningkatan retensi cairan dapat terjadi akibat menurunnya perfusi ginjal. Setelah cedera kepala klien mungkin mengalami inkontinensia urine karena konfusi, ketidakmampuan mengomunikasikan kebutuhan, dan ketidakmampuan untuk menggunakan urinal karena kerusakan kontrol motorik dan postural. Kadang-kadang kontrol sfingter urinarius eksternal hilang atau berkurang. Selama periode ini, dilakukan kateterisasi intermiten dengan teknik steril. Inkontinensia urine yang berlanjut menunjukan kerusakan neurologis luas.
(5)  B5 (Bowel)
Didapatkan adanya keluhan kesulitan menelan, nafsu makan menurun, mual muntah pada fase akut. Mual dan muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi asam lambung sehingga menimbulkan masalah pemenuhan nutrisi. Pola defekasi biasanya terjadi konstipasi akibat penurunan peristaltik usus. Adanya inkontinensia alvi yang berlanjut menunjukan kerusakan neurologis luas.
Pemeriksaan rongga mulut dengan melakukan penilaian ada tidaknya lesi pada mulut atau perubahan pada lidah dapat menunjukan adanya dehidrasi. Pemeriksaan bising usus untuk menilai ada atau tidaknya dan kualitas bising usus harus dikaji sebelum melakukan palpasi abdomen. Bising usus menurun atau hilang dapat terjadi pada paralitik ileus dan peritonitis. Lakukan observasi bising usus selama ± 2 menit. Penurunan motilitas usus dapat terjadi akibat tertelannya udara yag berasal dari sekitar selang endotrakeal dan nasotrakeal.
(6)  Tulang  (Bone)
Disfungsi motorik paling umum adalah kelemahan pada seluruh ekstremitas. Kaji warna kulit, suhu kelembapan dan turgor kulit. Adanya perubahan warna kulit warna kebiruan menunjukan adanya sianosis (ujung kuku, ekstremitas, telinga, hidung, bibir dan membran mukosa). Pucat pada wajah dan membran mukosa dapat berhubungan dengan rendahnya kadar haemaglobin atau syok. Pucat dan sianosis pada klien yang menggunakan ventilator dapat terjadi akibat adanya hipoksemia. Joundice (warna kuning) pada klien yang menggunakan respirator dapat terjadi akibat penurunan aliran darah portal akibat dari penggunaan pocked red cells (PRC) dalam jangka waktu lama.
Pada klien dengan kulit gelap. Perubahan warna tersebut tidak begitu jelas terlihat. Warna kemerahan pada kulit dapat menunjukan adanya demam dan infeksi. Integritas kulit untuk menilai adanya lesi dan dekubitus. Adanya kesukaran untuk beraktivitas karena kelemahan, kehilangan sensorik atau paralisis/ hemiplegia, mudah lelah menyebabkan masalah pada pola aktivitas dan istirahat.




2.    Diagnosa Keperawatan
a.    Resiko tinggi peningkatan tekanan intrakranial yang berhubungan dengan desak ruang sekunder dari kompresi korteks serebri dari adanya perdarahan baik bersifat intraserebral hematoma , subdural hematoma dan epidural hematoma.
b.    Ketidakefektifan  pola pernapasan yang berhubungan dengan depresi pada pusat pernapasan diotak, kelemahan otot – otot pernapasan, ekspansi paru yang tidak optimal karena akumulasi udara/cairan, dan perubahan perbandingan O2 dengan CO2, kegagalan ventiltor.
c.    Tidak efektif kebersihan jalan napas yang berhubungan dengan penumpukan sputum peningkatan sekresi sekret, penurunan batuk sekunder, akibat nyeri dan keletihan, adanya jalan napas buatan pada trakea, ketidakmampuan batuk/batuk efektif.
d.    Perubahan kenyamanan : nyeri akut yang berhubungan dengan trauma jaringan dan refleks spasme otot sekunder.
e.    Cemas/takut yang berhubungan dengan krisis situasional : ancaman terhadap konsep diri, takut mati, ketergantungan pada alat bantu, perubahan status kesehatan/ status ekonomi/ fungsi peran, hubungan interpersonal/ penularan

3.    Rencana Intervensi
a.    Resiko tinggi peningkatan TIK yang berhubungan dengan desak ruang sekunder dari kompresi korteks serebri dari adanya perdarahan baik bersifat intraserebral hematoma, subdural hematoma, dan epidural hematoma.
Tujuan : Dalam waktu 2 x 24 jam tidak terjadi peningkatan TIK pada klien.
Kriteria hasil:
Klien tidak gelisah, klien tidak mengeluh nyeri kepala, mual muntah. GCS : 4, 5, 6,tidak terdapat papiledema, TTV dalam batas normal
Intervensi:
Mandiri:
1)    Kaji faktor penyebab dari situasi/ keadaan individu/ penyebab koma/ penurunan perfusi jaringan dan kemungkinan penyebab peningkatan TIK.
R/     Deteksi dini untuk memprioritaskan intervensi, mengkaji status neurologis/ tanda – tanda kegagalan untuk menentukan perawatan kegawatan atau tindakan pembedahan
2)    Memonitor tanda – tanda vital tiap 4 jam.
R/     suatu keadaan normal bila sirkulasi serebral terpelihara dengan baik atau fluktuasi ditandai dengan tekanan darah sistemik penurunan dari autoregulator. Kebanyakan merupakan tanda penurunan difusi lokal vaskularisasi darah serebral. Dengan peningkatan tekanan darah (diastolik) maka dibarengi dengan peningkatan tekanan darah intrakranial. Adanya peningkatan tekanan darah, bradikardi, disritmia, dispnea merupakan tanda terjadinya peningkatan TIK.
3)    Evaluasi pupil, amati ukuran, ketajaman dan reaksi terhadap cahaya.
R/     Reaksi pupil dan pergerakan kembali
         dari bola mata merupakan tanda dari gangguan nervus/saraf jika batang otak terkoyak. Reaksi pupil diatur oleh saraf III kranial (okulomotorik) yang menunjukan keutuhan batang otak, ukuran pupil menunjukan keseimbangan antara parasimpatis dan simpatis. Respons terhadap cahaya merupakan kombinasi fungsi dari saraf kranial II dan III.
4)    Monitor temperatur da pengaturan suhu lingkungan .
R/     Panas merupakan refleks dari hipotalamus. peningkatan kebutuhan metabolisme dan O2 akan menunjang TIK/ICP (intrakranial pressure).
5)    Pertahankan kepala/leher pada posisi yang netral, usahakan dengan sedikit bantal. Hindari penggunaan batal yang tinggi pada kepala.
R/     Perubahan kepada salah satu sisi dapat menimbulkan penekanan pada venajugularis dan menghambat aliran darah ke otak (menghambat drainase pada vena serebral), untuk itu dapat meningkatkan tekanan intrakranial.
6)    Berikan periode istirahat antara tindakan perawatan dan batasi lamanya prosedur.
R/     Tindakan yang terus menerus dapat meningkatkan TIK oleh efek rangsagan kumulatif.
7)    Kurangi rangsangan ekstra dan berikan rasa nyaman seperti masase punggung, lingkungan yang tenang, sentuhan yang ramah  dan suasana/pembicaraan yang tidak gaduh.
R/     Memberikan suasana yang tenang (colming effect) dapat mengurangi respons psikologis dan memberikan istirahat untuk mempertahankan TIK yang rendah.
8)    Cegah/hindarkan terjadinya valsava manuver.
R/     Mengurangi tekanan intrathorakal dan intraabdominal sehingga menghindari peningkatan TIK.
9)    Bantu klien jika batuk, muntah
R/     Aktivitas ini dapat meningkatan intrathorak/tekanan dalam thoraks dan tekanan dalam abdomen dimana aktivitas ini dapat meningkatkan TIK.
10)Kaji peningkatan istirahat dan tingkah laku
R/     Tingkah nonverbal ini dapat merupakan indikasi peningkatan TIK atau memberikan refleks nyeri dimana klien tidak mampu mengungkapkan keluhan secara verbal, nyeri yang tidak menurundapat meningkatkan TIK.
11)Palpasi pada pembesaran/pelebaran bladder, pertahankan drainase urine secara paten jika digunakan dan juga monitor terdapatnya konstipasi.
R/     Dapat meningkatkan respons otomatis yang potensial menaikkan TIK.
12)Berikan penjelasan pada klien (jika sadar) dan keluarga tentang sebab akibat TIK meningkat.
R/     Meningkatkan kerja sama dalam meningkatkan perawatan klien dan mengurangi kecemasan.
13)Observasi tingkat kesadaran GCS
R/     Perubahan kesadaran menunjukkan peningkatan TIK dan berguna menentukan lokasi dan perkembangan penyakit.
Kolaborasi:
1)    Pemberian O2 sesuai indikasi.
R/     Mengurangi hipoksemia, dimana dapat meningkatkan vasodilatasi serebral, volume darah, dan menaikkan TIK
2)    Kolaborasi untuk tindakan operatif evakuasi darah dari dalam intrakranial.
R/     Tindakan pembedahan untuk evakuasi darah dilakukan bila kemungkinan terdapat tanda – tanda defisit neurologis yang menandakan peningkatan intrakranial.
3)    Berikan cairan intravena sesuai indikasi
R/     Pemberian cairan mungkin diiginkan untuk mengurangi edema serebral, peningkatan minimum pada pembuluh darah , tekanan darah dan TIK.
4)    Berikan obat osmosisdiuretik, contohnya : manitol, furoslide
R/     Diuretik mungkin digunakan pada fase akut untuk mengalirkan air dari sel otak dan mengurangi edema serebral dari TIK
5)    Berikan steroid contohnya : Dexamethason,
methylprenidsolon.
R/     Untuk menurunkan inflamasi (radang) dan mengurangi edema jaringan.
6)    Berikan analgesik narkotik, contoh : kodein
R/     Mungkin diindikasikan nyeri dan obat ini berefek negatif pada TIK tetapi digunakan dengan tujuan untuk mencegah dan menurunkan sensasi nyeri.
7)    Berikan antipiretik, contohnya : asetaminofen.
R/     Mengurangi/mengontrol hari dan pada metabolisme serebral/oksigen yang diinginkan.
8)    Monitor hasil laboratorium sesuai dengan indikasi seperti prothrombin, LED
R/     Membantu memberikan informan tentang efektivitas pemberian obat.

b.    Ketidakefektifan pola pernapasan yang berhubungan dengan depresi pusat pernapasan, kelemahan otot – otot pernapasan, ekspansi paru yang tidak meksimal karen trauma, dan perubahan perbandingan O2 dan CO2,kegagalan ventilator.
                  Tujuan:
Dalam waktu 3 x 24 jam setelah intervensi, adanya peningkatan, pola napas kembali efektif.
Kriteria hasil:
Memperlihatkan frekuensi pernapasan yang efektif, mengalami perbaikan pertukaran gas – gas pada paru, adaptif mengatasi faktor – faktor penyebab.
                  Intervensi:
1)    Berikan posisi yang nyaman, biasanya dengan peninggian kepala tempat tidur. Balik kesisi yang sakit. Dorong klien untuk duduk sebanyak mungkin.
         R/        Meningkatkan inspirasi maksimal, meningkatkan ekspansi paru dan ventilasi pada sisi yang tidak sakit.
2)    Observasi fungsi pernapasan, catat frekuensi pernapasan, dispnea atau perubahan tanda-tanda vital.
         R/        Distress pernapasan dan perubahan pada tanda vital dapat terjadi sebagai akibat stres fisiologis dan nyeri atau dapat menunjukan terjadinya terjadinya syok sehubungan dengan hipoksia.
3)    Jelaskan pada klien tentang etiologi/faktor pencetus adanya sesak atau kolaps paru – paru.
         R/        Pengetahuan apa yang diharapkan dapat mengurangi ansietas dan mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana terapeutik.
4)    Pertahankan perilaku tenang,bantu klien untuk kontrol diri dengan menggunakan pernapasan lebih lambat dan dalam.
         R/        Membantu klien mengalami efek fisiologi hipoksia, yang dapat dimanifestasikan sebagai ketakutan/ansietas.
5)    Periksalah alarm pada ventilator sebelum difungsikan jangan mematikan alarm.
R/        Ventilator yang memiliki alarm yang biasa dilihat dan didengar misalnya alarm kadar oksigen, tinggi/ rendahnya tekanan oksigen.
6)    Taruhlah kantung resusitasi disamping tempat tidur dan manual ventilasi untuk sewaktu – waktu dapat digunakan.
         R/        Kantung resusitasi/manual ventilasi sangat berguna untuk mempertahankan fungsi pernapasan jika terjadi gangguan pada alat ventilator secara mendadak.
7)    Bantulah klien untuk mengontrol pernapasan jika ventilator tiba – tiba berhenti
         R/        Melatih klien untuk mengatur napas, seperti napas dalam, napas pelan, napas perut, pengaturan posisi, dan teknik relaksasi dapat membantu memaksimalkan fungsi dari sistem pernapasan.
8)    Perhatikan letak dan fungsi ventilator secara rutin. Pengecekan konsentrasi oksigen, memeriksa tekanan oksigen dalam tabung, monitor manometer untuk menganalisis batas/kadar oksigen. Mengkaji tidal volume (10 – 15 ml/kg). Periksa fungsi spirometer
         R/        Memerhatikan letak dan fungsi ventilator sebagai kesiapan perawat dalam memberikan tindakan pada penyakit primer setelah menilai hasil diagnostik dan menyediakan sebagai cadangan.
9)    Kolaborasi dengan tim kesehatan lain : Dengan dokter, radiologi dan fisioterapi.
a)    Pemberian antibiotik.
b)    Pemberian analgesik.
c)    Fisioterapi dada.
d)    Konsul foto thoraks.
R/   Kolaborasi dengan tim kesehatan lainuntuk mengevaluasi perbaikan kondisi klien atas pengembangan parunya.

c.    Tidak efektif bersihan jalan napas yang berhubungan dengan adanya jalan napas buatan pada trakea, peningkatan sekresi sekret dan ketidakmampuan batuk/batuk efektif sekunder akibat nyeri dan keletihan.
Tujuan : Dalam waktu 3 x 24 jam terdapat perilaku peningkatan keefektifan jalan napas.
Kriteria hasil : Bunyi napas terdengar bersih, ronkhi tidak terdengar, tracheal tube bebas sumbatan, menunjukan batuk yang efektif, tidak ada lagi penumpukan sekret disaluran pernapasan.
                  Intervensi:
1)    Kaji keadaan jalan napas
         R/        Obstruksi mungkin dapat disebabkan oleh akumulasi sekret, sisa cairan mukus, perdarahan, bronkhospasme, dan/atau posisi dari endotracheal/ tracheostomy tubeyag berubah.
2)    Evaluasi pergerakan dan auskultasi suara napas pada kedua paru (bilateral)
         R/        Pergerakan dada yang simeteris dengan suara napas yang keluar dari paru – paru menandakan jalan napas tidak terganggu. Saluran napas bagian bawah tersumbat dapat terjadi pada pneumonia/atelektasis akan menimbulkan perubahan suara napas seperti ronkhi atauwheezing.
3)    Monitor letak posisi endotrakeal tube, beri tanda batas bibir. Letakkan tube secara hati – hati dengan memakai perekat khusus. Mohon bantuan perawat lain ketika memasang dan mengatur posisi tube.
         R/        Endotracheal tube dapat saja masuk kedalam bronkhus kanan, menyebabkan obstruksi jalan napas keparu – paru kanan dan mengakibatkan klien mengalami pneumothoraks
4)    Catat adanya batuk, bertambahnya sesak napas, suara alarm dari ventilator karena tekanan yang tinggi, pengeluaran sekret melalui endotracheal/tracheostomy tube, bertambahnya bunyi ronkhi.
         R/        Selama intubasi klien mengalami refleks batuk yang tidak efektif, atau klien akan mengalami kelemahan otot-otot pernapasan (neuromuskular/neurosensorik), keterlambatan untuk batuk. Semua klien tergantung dari alternatif yag dilakukan seperti mengisap lendir dari jalan napas.
5)    Lakukan pengisapan lendir jika diperlukan, batasi durasi pengisapan dengan 15 detik atau lebih. Gunakan kateter penghisap yag sesuai, cairan fisiologis steril. Berikan oksigen 100 % sebelum dilakukan penghisapan dengan ambubag (hiperventilasi).
         R/        Pengisapan lendir tidak selamnya dilakukan terus -menerus, dan durasinya pun dapat dikurangi untuk mencegah bahaya hipoksia
6)    Anjurkan klien teknik batuk selama pengisapan seperti waktu bernapas panjang, batuk kuat, bersin jika ada indikasi.
         R/        Batuk yang efektif dapat mengeluarkan
                     sekret dari saluran napas.
7)    Atur/ubah posisi klien secara teratur (tiap 2 jam)
         R/        Mengatur pengeluaran sekret dan ventilasi segmen paru – paru, mengurangi resiko atelektasis.
8)    Berikan minum hangat jika keadaan memungkinkan.
         R/        Membantu pengeceran sekret, mempermudah pengeluaran sekret.
9)    Jelaskan kepada klien tentang kegunaan batuk efektif dan mengapa terdapat penumpukan sekret disaluran pernapasan.
         R/        Pengetahuan yang diharapkan akan membantu mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana terapeutik.
10) Ajarkan klien tentang metode yang tepat untuk pengontrolan batuk.
         R/        batuk yang tidak terkontrol adalah melelahkan dan tidak efektif, dapat menyebabkan frustasi
11)Napas dalam dan perlahan saat duduk setegak mungkin
R/        memungkinkan expansi pun lebih luas
12)Lakukan pernapasan diafragma
         R/        pernapasan diafragma menurunkan frekuensi napas dan ventilasi alveolar.
13)Tahan napas selama 3 – 5 detik kemudian secara perlahan, lahan keluarkan sebanyak mungkin melalui mulut.
         R/        meningkatkan volume udara dalam paru, mempermudah pengeluaran sekresi sekret
14) Lakukan napas kedua, tahan, dan batukkan dari dada dengan melakukan 2 batuk pendek dan kuat.
         R/        pengkajian ini membantu mengevaluasi keefektifan batuk klien.
15)Auskultasi paru sebelum dan sesudah klien batuk.
         R/        sekresi kental sulit untuk diencerkan dan dapat menyebabkan sumbatan mukus yang mengarah pada atelektasis.
16)Ajarkan klien tindakan untuk menurunkan viskositas sekresi : mempertahankan hidrasi yang adekuat, meningkatkan masukan cairan 1000-1500cc/hari bisa tidak ada kontraindikasi.
         R/        untuk menghindari pengentalan dari sekret atau mukosa pada saluran napas bagian atas
17)Dorong atau berikan perawatan mulut yang baik setelah batuk.
         R/        higene mulut yang baik meningkatkan rasa kesejahteraan dan mencegah bau mulut.
18)Kolaborasi dengan dokter, radiologi, dan fisioterapi.
1)    Pemberian ekpektoran
2)    Pemberian antibiotik
3)    Fisioterapi dada
4)    Konsul foto thoraks
        R/ ekspektoran untuk memudahkan mengeluarkan lendir dan mengevaluasi kndisi klien pengembangan parunya.
19)Lakukan fisioterapi dada sesuai indikasi seperti postural drainase, perkusi / penepukan.
         R/        mengatur ventilasi segment paru – paru sekret.
20)Berikan obat – obat bronkhodilator sesuai indikasi seperti aminophilin, meta-protereno sulfat (alupent), adoetharine hydrochloride (bronkosal).
         R/   mengatur ventilasi dan melepaskan sekret karena relaksasi muscle / bronchospasme.

d.    Nyeri akut yang berhubungan dengan trauma jaringan dan refleks spasme otot sekunder.
Tujuan : dalam waktu 3 x 24 jam nyeri berkurang / hilang
Kriteria hasil : secara subyektif melaporkan nyeri berkurang atau dapat di adaptasi, dapat mengidentifikasi yang meningkatkan atau menurunkan nyeri, klien tidak gelisah.
Intervensi:
1)    Jelaskan dan bantu klien dengan tindakan pereda nyeri nonfarmakoloni dan non invasif.
         R/        pendekatan dengan menggunakan relaksasi dan nonfarmakologi lainnya telah menunjukan keefektifan dalam mengurangi nyeri
2)     Ajarkan relaksasi.Teknik-teknik untuk menurunkan ketegangan otot rangka, yang dapat menurunkan intensitas nyeri dan juga tingkatkan relaksasi masase.
         R/        Akan melancarkan peredaran darah sehingga kebutuhan O2 oleh jaringan akan terpenuhi dan akan mengurangi nyerinya.
3)    Ajarkan metode distraksi selama nyeri akut.
         R/        mengalihkan perhatian nyerinya ke hal-hal yang menyenangkan.
4)    Berikan kesempatan waktu istirahat bila terasa nyeri dan berikan posisi yang nyaman misalnya ketika tidur belakangnya dipasang bantal kecil.
         R/        istirahat akan merelaksasikan semua jaringan sehingga akan meningkatkan kenyamanan.
5)    Tingkatkan pengetahuan tentang penyebab nyeri  dan menghubungkan berapa lama nyeri akan berlangsung.
         R/        pengetahuan yang akan dirasakan membantu mengurangi nyerinya dan dapat membantu mengembangkan kepatuhan klien  terhadap rencana terapeutik.
6)    Observasi tingkat nyeri dan respon motorik klien,30 menit setelah pemberian obat analgesik untuk mengkaji efektifitasnya serta setiap 1 – 2 jam setelah tindakan perawatan selam 1 – 2 hari.
         R/        pengkajian yang optimal akan memberikan perawat data yang objektif untuk mencegah kemungkinan komplikasi dan melakukan : intervensi yang tepat.
7)     Kolaborasi dengan dokter, pemberian analgesik.
         R/        analgesik memblok lintasan nyeri, sehingga nyeri akan berkurang.

e.    Cemas atau takut yang berhubungan dengan krisis situasional : ancaman terhadap konsep diri, takut mati/ketergantungan pada alat bantu/ perubahan status kesehatan/status ekonomi/fungsi peran, hubungan interpersonal.
Tujuan dalam waktu 1 x 24 jam secara subjektif melaporkan rasa cemas berkurang.
Kriteria Hasil : klien mampu mengungkapkan perasaan yang kaku, cara-cara yang sehat kepada perawat, klien dapat mendemonstrasikan keterampilan pemecahan masalahnya dan perubahan koping yang digunakan sesaui situasi yang di hadapi, klien dapat mencatat penurunan kecemasan/ketakutan di bawah standar, klien dapat rileks dan tidur/istirahat dengan baik.
                Intervensi : Mandiri.
1)    Identifikasi persepsi klien untuk menggambarkan tindakan sesuai situasi
                    R/        menegaskan batasan masalah individu dan pengeruhnya selama diberikan intervensi.
2)    Monitor rspon fisik seperti : Kelemahan, perubahan tanda vital gerakan yang berulang-ulang, catat kesesuaian respons verbal dan non verbal selama komunikasi.
                    R/        digunakan dalam mengevaluasi derajat/ tingkat kesadaran/ konsentrasi, khususnya ketika melakukan komunikasi verbal.
3)    Anjurkan klien dan keluarga untuk mengungkapkan dan mengekspresikan rasa takutnya.
                    R/        Memberikan kesempata untuk berkonsentrasi, kejelasan dari rasa takut, dan mengurangi cemas yang berlebihan.
4)    Akuilah situasi yang membuat cemas dan takut. Hindari perasaan yang tak berarti seperti mengatakan semuanya akan menjadi baik.
                    R/        Memvalidasi situasi yang nyata tanpa mengurangi pengaruh emosional.
5)    Identifakasi/ kaji ulang bersama klien / keluarga tindakan pengaman yang ada seperti kekuatan dan suplai oksigen, kelengkapan suctioa emergency. Diskusikan arti dari bunyi alarm.
                      R/      membesarkan/menentramkan hati klien untuk membantu menghilangkan cemas yang tak berguna, mengurangi konsentrasi yang tidak jelas, dan menyiapkan rencana sebagai respons dalam keadaan darurat.
6)    Cetak reaksi dari klien/keluarga. Berikan kesempatan untuk mendiskusika perasaannya/konsentrasi dan harapan masa depan.
                     R/       Anggota keluarga dengan responnya pada apa yang terjadi dan kecemasannya dapat di sampaikan kepada klien.
7)    Identifikasi kemampuan koping klien/keluarga sebelumnya dan mengontrol pengguanaannya.
                    R/        Memfokuskan perhatian pada sendiri dapat meningkatkan pengertian dalam penggunaan koping.
8)    Demonstrasikan/anjurkan klien untuk melakukan teknik relaksasi seperti mengatur pernapasan, menuntun dalam berkhayal, relaksasi progresif.
                    R/        pengaturan situasi yang aktif dapat mengurangi perasaan yang tak berdaya.
9)    Anjurkan aktivitas pengalihan perhatian sesuai kemampua individu seperti menulis, menonton tv dan keterapilan
                     R/       sejumlah keterampilan baik secara sendiri maupun dibantu selama pemasangan ventilator dapat membuat klien merasa berkualitas dalam hidupnya.
Kolaborasi
Rujuk ke bagian lain guna penanganan selanjutnya.
        R/        mungkin dibutuhkan untuk  membantu jika klien/ keluarga tidak dapat mengurangi cemas atau ketika klien membutuhkan alat yang lebih canggih.
                                                                    ( Arif Muttaqin ; 2008 : 288-297 )











BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Jadi cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala  terjadi baik secara langsung bersifat terbuka atau tertutup yang dapat terlihat meliputi trauma kulit kepala, tengkorak dan juga otak sehingga dapat mengakibatkan gangguan  fungsi  neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, bersifat temporer atau permanen.
Diagnosa yang muncul pada pasien cidera kepala antara lain:
a.    Resiko tinggi peningkatan tekanan intrakranial yang berhubungan dengan desak ruang sekunder dari kompresi korteks serebri dari adanya perdarahan baik bersifat intraserebral hematoma , subdural hematoma dan epidural hematoma.
b.    Ketidakefektifan  pola pernapasan yang berhubungan dengan depresi pada pusat pernapasan diotak, kelemahan otot – otot pernapasan, ekspansi paru yang tidak optimal karena akumulasi udara/cairan, dan perubahan perbandingan O2 dengan CO2, kegagalan ventiltor.
c.    Tidak efektif kebersihan jalan napas yang berhubungan dengan penumpukan sputum peningkatan sekresi sekret, penurunan batuk sekunder, akibat nyeri dan keletihan, adanya jalan napas buatan pada trakea, ketidakmampuan batuk/batuk efektif.
d.    Perubahan kenyamanan : nyeri akut yang berhubungan dengan trauma jaringan dan refleks spasme otot sekunder.
e.    Cemas/takut yang berhubungan dengan krisis situasional : ancaman terhadap konsep diri, takut mati, ketergantungan pada alat bantu, perubahan status kesehatan/ status ekonomi/ fungsi peran, hubungan interpersonal/ penularan

B.     Kritik dan Saran
Alhamdulillah makalah ini dapat terselesaikan dengan baik tanpa ada hambatan yang berarti. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih terdapat banyak kekurangan. Maka penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari para pembaca demi kesempurnaan makalah ini. Hanya kepada Allah penulis berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.
Saran yang disampaikan kepada Mahasiswa Keperawatan adalah :
1.      Dapat menerapkan asuhan keperawatan pada klien dengan cedera kepala.
2.      Dapat menilai batasan GCS.
3.      Lebih teliti dalam memberikan intervensi keperawatan kepada klien dengan cedera kepala.
4.      Dapat memberikan pendidikan kesehatan terhadap keluarga maupun klien, baik di rumah sakit maupun di rumah.






























DAFTAR PUSTAKA

Doenges, Marilynn E.1999.Rencana Asuhan Keperawatan ed-3. Jakarta : EGC
Muttaqin, Arif.2008.Buku Ajar asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan sistem persarafan. Jakarta : Salemba Medika
Smeltzer, Suzanne C.2010. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Vol 3 ed-8. Jakarta : EGC

http://asuhan-keperawatan-yuli.blogspot.com/2009/11/laporan-pendahuluan-cedera-kepala.html